@Buku "XXX -
Family Way" (Kanisius)
Kesabaran pada orang lain berarti cinta.
Kesabaran pada diri sendiri berarti pengharapan.
Kesabaran pada Allah berarti iman.
Patience with others means love, with self means hope, with God means faith.
Adalah sebuah tanaman bernama Sansivieria, yang berdaun meruncing. Selain sebagai tanaman hias, Sanseviera ini kerap ditaruh di sudut dapur atau kamar mandi untuk meredam bau dan polusi. Sansivieria memang termasuk tanaman hias yang sering disimpan di dalam rumah karena tanaman ini dapat tumbuh dalam kondisi dengan sedikit air dan cahaya matahari. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama “Lidah Mertua’. Disebut lidah mertua, karena mertua dan menantu digambarkan tak pernah akur. Sansivieria juga dikatakan sama tajamnya dengan kebanyakan lidah mertua, karena ia memiliki aura yang keras dan menyengat.
Kesabaran pada orang lain berarti cinta.
Kesabaran pada diri sendiri berarti pengharapan.
Kesabaran pada Allah berarti iman.
Patience with others means love, with self means hope, with God means faith.
Adalah sebuah tanaman bernama Sansivieria, yang berdaun meruncing. Selain sebagai tanaman hias, Sanseviera ini kerap ditaruh di sudut dapur atau kamar mandi untuk meredam bau dan polusi. Sansivieria memang termasuk tanaman hias yang sering disimpan di dalam rumah karena tanaman ini dapat tumbuh dalam kondisi dengan sedikit air dan cahaya matahari. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama “Lidah Mertua’. Disebut lidah mertua, karena mertua dan menantu digambarkan tak pernah akur. Sansivieria juga dikatakan sama tajamnya dengan kebanyakan lidah mertua, karena ia memiliki aura yang keras dan menyengat.
Sebuah ilustrasi: Sepasang suami-isteri menikah tanpa mendapat restu dari kedua orangtua mereka. Pihak orangtua dari suami berkata bahwa Yenny, isterinya, bukanlah tipe orang yang bisa mengurus rumah. Sebaliknya, pihak orangtua isterinya berkata bahwa, Rico, si suami bukan tampang suami yang bisa menghargai seni. Pasangan itu tinggal agak jauh dari kedua orangtua mereka. Namun dua kali setahun, orangtua Rico berkunjung dan tinggal selama 3 minggu, dan menjelang setiap kunjungan, Rico dan Yenny menata rumah mereka senyaman mungkin agar orangtua mereka senang. Tapi dasar mertua, kondisi itu diubah oleh orangtua mereka. Orangtua Yenny juga datang dua kali per tahun dan tinggal beberapa minggu dan selalu mengobrak-abrik kebun dan taman serta memberi khotbah panjang tentang bagaimana mendidik anak.
Pasangan suami-isteri itu kemudian menjadi begitu kesal hingga mendatangi seorang pakar terapi. Setelah mendengar ceritera Rico dan Yenny, pakar terapis itu kemudian mengutip Bernard Shaw yang berkata, ‘Suruhlah aku berbuat sesuatu tugas dan betapa hebat keinginanku untuk berbuat sesuatu yang lain.’ Pada kunjungan berikutnya suami-isteri itu menyiapkan rumah dan halaman begitu kacau-balau, sehingga sang mertua akhirnya berkata, ‘Cukup adalah cukup, seterusnya kau berdualah yang harus mengurus rumahmu.’ Cerita berakhir sampai disini.
Nah, bicara soal mertua yang lidahnya tajam, saya jadi teringat sebuah pengalaman di masa kecil mungil: Dahulu kala, di keluarga kami ada seorang simbah, orang tua dari bapak saya, yang berasal dari Godean di Yogyakarta. Mbah Harjo namanya. Dialah orang tua dari bapak saya, yang berarti dialah mertua bagi ibu saya, bukan? Mbah Harjo ini sangat sabar, bahkan terhadap Blacky, seekor anjing hitam yang kami sayangi, yang sering centil-usil sengaja mencari-curi perhatian dengan merusak keset dan sandal jepit yang ada di rumah kami. Karena itulah, sambil mengenang-ulangnya sebagai simbah sekaligus mertua yang baik dan tidak berlidah tajam, maka saya mengartikan kata mertua sebagai “Merasakan Tuhan Ada.”
Mengapa kita sulit merasakan Tuhan ada dalam setiap keluarga kita masing-masing? Mungkin salah satu penyebab pokoknya itu adalah apa yang kita kerap sebut dengan situasi kemarahan. Pada kenyataannya, kadang sosok mertua ditampilkan sebagai sosok yang mudah marah dan mudah mencari kesalahan menantunya, sehingga anggota keluarganya kerap sulit merasakan Tuhan ada. Kemarahan itu sendiri ibarat angin yang dapat memadamkan lampu jiwa, entah kita sebagai pelaku, penyebab atau kadang bahkan menjadi korban kemarahan. Padahal, solusi paling tangguh untuk masalah yang paling rumit sekaligus untuk bisa merasakan Tuhan itu ada, adalah waktu dan kesabaran, bukan?
Jelas bahwa keadaaan marah atau konflik kerap membuat kita sulit merasakan Tuhan itu ada. Situasi ini kerap saya sebut sebagai Kortsluiting. Kortsluiting (Bahasa Belanda) atau short circuit berarti ‘hubungan pendek’ dalam listrik, yaitu bertemunya dua kutub aliran yang berseberangan, yang mengakibatkan putusnya arus. Dalam relasi sebuah keluarga, terlebih dalam hubungan suami-isteri dimana pun dan dalam keadaan apa pun hampir selalu mengalami kortsluiting. Berikut ini ada 10 jenis penyebab korstsluiting dalam sebuah relasi keluarga:
1. salah paham,
2. salah tangkap,
3. salah ucap
4. salah tingkah
5. kesal, jengkel,
6. kehilangan respek,
7. tersinggung,
8. curiga,
9. heran,
10. terhenyak-tertegun (terkesiap, flabbergasted).
Bila hal-hal di atas dibiarkan berlarut, maka sangat bisa menjadi konflik berkepanjangan. Sebab itu setiap kali terjadi korstsluiting hendaknya segera mengambil tindakan guna menyambung hubungan kembali agar ‘listrik’ menyala normal lagi.Menurut banyak pengamatan dalam pastoral keluarga terdapat 50 tindakan nyata yang bisa dibuat (terlebih oleh para isteri), guna menghindari kortsluiting yang semakin berkepanjangan, al:
1. Bila ia bicara tatap mukanya.
2. Bila ia bicara jangan dijawab sambil melihat TV
3. Sambut ia sewaktu pulang.
4. Antar ke pintu sewaktu ia pergi.
5. Bagi dua irisan kue terakhir.
6. Bantu ia masuk kendaraan.
7. Bawakan barang bawaannya.
8. Kilatkan sepatunya sebelum ia berangkat.
9. Bantu ia memakai baju, jas, jaketnya
10. Bukakan pintu bagi dia
11. Katakan “Terimakasih” sesering mungkin.
12. Jaga kebersihan dapur waktu ia pulang.
13. Jangan tinggalkan WC dalam keadaan kotor.
14. Shampoo, odol, sikat gigi, sabun jangan ditinggal berantakan.
15. Dengarkan pendapatnya dengan cermat.
16. Waktu ia memilih, katakan, “Silahkan pilih menurut seleramu”.
17. Waktu ia sedang menelpon jangan mengganggu/ menyela.
18. Garuk punggungnya bila gatal.
19. Pegang tangannya bila ia sedang berceritera kecewa/ sedih.
20. Urut-urut kakinya.
21. Cium keningnya.
22. Minta maaf, bahkan bila sebenarnya anda tidak bersalah.
23. Katakan, “Sorry” kendati masalahnya sepele.
24. Siapkan air panas untuk mandinya.
25. Gantung pakaian anda di tempatnya
26. Meski di rumah jangan berpenampilan slordig (komproh)
27. Siapkan meja makan sebelum ia pulang.
28. Berikan suatu kudapan kesukaannya kendati ia tak minta.
29. Waktu pulang dari suatu tempat, bawakan suatu hal kecil tapi menarik.
30. Nyanyikan suatu lagu yang ia sukai dan yang radarada lucu.
31. Di jalan yang licin, ulurkan tangan membantunya.
32. Jaga bau mulut anda.
33. Tawarkan minuman kesukaannya pada saat sedang santai.
34. Puji dia atas suatu prestasi kendati prestasi kecil.
35. Puji pakaian/ penampilan/ gayanya dia pada saat tepat.
36. Ajak ia ke restoran kesukaannya.
37. Pasang muka cerah dan senyum lebar waktu ia datang.
38. Katakan, “Itu salahku”.
39. Jangan ganggu atau sela waktu ia sedang ditelpon.
40. Jangan pernah memakai kata-kata kasar, umpatan, maki-maki.
41. Bila ambil air dari lemari es, botolnya kembali dalam keadaan terisi.
42. Bila ambil es batu dari lemari es jangan lupa isi ulang.
43. Sesekali katakan, “Aku bangga menjadi pasanganmu”.
44. Cepat lupakan kesalahan-kesalahan kecilnya.
45. Selalu bersikap positif.
46. Bila tak setuju katakan tanpa harus menyakiti rasa.
47. Bila ia sedang nyerocos, bersikap kalam saja.
48. Jangan memaksanakan keingin-tahuan.
49. Bila ia sedang kesal, harap tunggu sampai mendingin.
50. Jangan pernah melukai hatinya di depan umum.
Berangkat dari ke-50 tindakan nyata di atas, guna menghindari kortsluiting yang semakin berkepanjangan, baiklah juga kita mengingat pesan Yesus, yang tercatat dalam Matius 5:22, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”
Yang pasti, pertanyaan penting yang perlu diangkat disini adalah sebenarnya apa itu definisi marah? Dalam bahasa Yunani, “marah” sendiri memiliki dua buah kategori. Kategori pertama, yaitu Orge, marah yang berkepanjangan. Kategori kedua yaitu Thymon / Thumos, marah yang sekilas saja, seperti nyala api yang keluar dari bahan yang mudah terbakar; cepat muncul, membesar dan cepat pula padam.
Marah juga adalah sebuah warna emosi dari manusia, seperti rasa bahagia, sedih, kecewa, bersemangat dan sebagainya. Yang jelas, marah adalah reaksi jasmani yang normal dan kita mungkin pernah dan akan tetap mengalaminya. Marah juga bisa terjadi sebagai respon emosi atas ketidakadilan yang muncul di sekitar kehidupan dan keluarga kita masing-masing, bisa dari faktor internal maupun dari eksternal. Menurut sebuah studi, pekerjaan rumah menempati urutan kedua setelah keuangan, dalam menimbulkan konflik kemarahan di rumah tangga. Ada isteri yang begitu cerewet dalam urusan di rumah sehingga suami enggan untuk berbuat sesuatu atau menolong. Ada pasangan yang begitu tinggi tuntutannya dalam kebersihan, keteraturan, dan kerapihan, hingga tidak toleran terhadap pasangannya atau anak-anak yang agak komproh. Sebab itu potensial bisa terjadi kemarahan yang berkepanjangan. Itu sebabnya, saya setuju dengan sebuah pernyataan dari S.T. Coleridge, “Kombinasi terbaik dalam perkawinan adalah suami yang tulis dan isteri yang buta -- The most happy marriage I can imagine to myself would be the union of a deaf man to a blind woman.
Mengapa kita marah? Dari faktor eksternal: bisa karena orang lain yang kerap menjadi trouble-maker. Bisa juga karena situasi kondisi, macet, atau krisis moneter misalnya. Bisa juga karena adanya ancaman atau bahaya. Sedangkan, dari faktor internal, bisa terjadi karena perasaan kuatir (perasaan yang kurang percaya diri atau terlalu percaya diri), atau juga karena pengalaman trauma pada masa lalu.
Dari aneka penyebab kemarahan di atas, saya mengamati, bila pertengkaran meletus, seringkali ada saja orang-orang yang mengambil tindakan emosional dengan akibat fatal. Apakah kita juga pernah mengalaminya?
Mengucapkan kata-kata kasar.
Mengungkap kesalahan lama, menuduh.
Mutung (ngambek) berhari-hari
Mencari hiburan di luar rumah.
Pergi tidur di kamar atau tempat lain.
Memukul.
Mengadukan masalahnya ke pihak ketiga.
Curhat pada pihak lain, pulang ke rumah orangtua.
Pertanyaan lain yang juga bisa dimunculkan, apakah marah itu berdosa? Baiklah kalau kita mengingat isi kitab Amsal 30:33, “sebab kalau susu ditekan, mentega dihasilkan, dan kalau hidung ditekan, darah keluar, dan kalau kemarahan ditekan, dendam timbul.” Bukankah jika marah itu berdosa berarti Allah kita adalah pendosa; karena marah itu adalah suatu sifat alami yang dari Allah. Dalam dunia Kitab Suci Perjanjian Lama, terdapat 455 kata marah, dimana sebanyak 375 kali adalah kemarahan dari Allah. Sedangkan dalam dunia Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus pernah marah bukan? Ia marah kepada orang banyak di Bait Allah, Ia marah kepada kaum Farisi dan Saduki, Ia marah kepada Simon Petrus, Ia marah dan mengutuk pohon ara, Ia marah kepada orang-orang Nazareth, kepada para murid, bahkan juga pernah marah kepada Bunda Maria. Apakah marah itu berdosa atau tidak, sepenuhnya bergantung pada: sifat kemarahan, sasaran kemarahan, obyek kemarahan, cara pengungkapan serta motivasi/tujuan dari kemarahan tersebut.
Berikut ini adalah beberapa ekspresi kemarahan:
1. Kemarahan yang meledak-ledak.
Kemarahan jenis ini haruslah dikontrol, sebab merugikan dirinya sendiri juga pastinya merugikan keluarga dan sesamanya yang lebih luas. Sebuah sindiran halus: Buka mulutlah pada waktu marah dan kau akan membuat pidato terbaik yang akan selamanya kau sesali – Speak when you are angry and you will make the best speech you will ever regret. Kita juga diajak untuk tidak memberi kesempatan kepada Iblis dengan kemarahan yang meledak-ledak. Mengacu pada Ignatius Loyola, iblis sendiri seperti panglima: ia tahu dan berusaha terus mencari tahu dimana titik lemah kita.
2. Kemarahan yang berdosa.
Kemarahan yang tertuju kepada orang lain, tidak memiliki alasan/motivasi yang jelas; dan kadang untuk alasan balas dendam. Kemarahan jenis ini haruslah dihilangkan, karena sesuai dengan Roma 12:19, “janganlah kamu sendiri yang menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan…”
3. Kemarahan yang dipendam.
Kemarahan ini harus ditaklukkan untuk mencegah timbulnya bahaya yang lebih dahsyat dengan konsekuensi suatu kepahitan. Ingatlah juga baik-baik, amarah yang dipendam seringkali memberi kesempatan kepada Iblis untuk membisikkan lebih banyak lagi hal buruk. Kita juga diajak untuk tidak marah sepanjang hari, terlebih dengan orang yang tinggal serumah dengan kita. Artinya kalau kita marah, segera selesaikan dengan orang yang bersangkutan. Jangan memendam kemarahan di dalam hati. Bukankah, amarah yang disimpan di dalam hati, seringkali malah menjadi seperti bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu? Sebuah pengamatan medis mengatakan, memendam amarah dan menanggung beban sendirian, berpotensi menggerogoti sistem kekebalan tubuh. "Stress akan meningkat, begitu juga tekanan darah. Pacu jantungpun jadi tak terkendali." Wanita nampaknya harus lebih hati-hati dalam hal ini. Pasalnya, Kiecolt-Glaser mengatakan, wanita cenderung lebih sensitif dibanding pria.
4. Kemarahan yang suci.
Kemarahan yang suci adalah kemarahan Allah sendiri, yang ditujukan kepada dosa dan kejahatan. Cirinya, antara lain: tidak menyebabkan kita berdosa, karena seringkali ketika kita sedang marah, kesadaran kita dikuasai oleh amarah sehingga menyebabkan kita melakukan dosa melalui kata-kata atau tindakan fisik. Amarah yang benar adalah amarah yang ditujukan kepada dosa dan dengan motivasi kasih. Bukankah benar sebuah isi dalam kitab Amsal 14:29: “Orang yang sabar - besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah - besar kebodohannya.”
Kemarahan memang sejak awal perlu dimanajemeni. Artinya sadar sepenuhnya bahwa suatu ketika kemarahan akan terjadi, jadi hendaknya diantisipasi. Kemudian belajar mencari akan penyebab kemarahan. Selanjutnya berlatih mengubahnya menjadi peluang untuk kebaikan dan perbaikan. Berikut ini 10 saran lain yang bisa memberi inspirasi setiap kali terjadi ‘kortsluiting’, terlebih dalam keluarga dan dengan pasangan kita masing-masing. Pertanyaannya adalah seberapa sanggup kita menerapkan ke-10 tindakan ini:
1. Mencari Konselor
Jika ada masalah yang tak bisa diselesaikan berdua, umumnya pasangan membiarkannya berlarut-larut. Rata-rata enam tahun kemudian, mereka baru minta bantuan tenaga ahli atau konselor, baik profesional maupun pastoral. Hampir setengah dari pasangan-pasangan tersebut kemudian memutuskan untuk bercerai pada tahun ke tujuh. Ini menunjukkan bahwa mereka hidup dalam ketidakbahagiaan terlalu lama. Maka tidak ada salahnya berpaling pada konselor yang bisa dipercaya.
2. Bisa saling mempengaruhi
Selama ini wanita diketahui siap untuk dipengaruhi suaminya. Karena itu, umumnya dalam perkawinan, kemauan suami untuk bisa dipengaruhi amat memegang peranan penting. Misalnya si istri berkata, “Aku perlu bantuanmu membersihkan rumah. Minggu ini tidak ada acara kan?” Lalu si suami menjawab,” Aku sudah janji sama teman dan tak bisa diganggu gugat.” Jawaban seperti ini mengantar ke retaknya hubungan.
3. Standar tinggi.
Pasangan yang bahagia menetapkan standar yang cukup tinggi terhadap pasangannya. Bahkan pada awal pernikahan mereka tidak mau menerima kebiasaan buruk pasangan yang bisa menyakiti hatinya. Begitu menikah, kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak disukai harus sudah tidak ada lagi. Karena itu semakin rendah toleransi terhadap kebiasaan buruk pasangan, semakin bahagia hubungan mereka.
4. Memperbaiki dan keluar pertengkaran.
Pasangan yang sukses tahu bagaimana caranya keluar dari pertengkaran. Pasangan bahagia tahu bagaimana mengubah suasana sebelum pertentangan menjadi pertengkaran yang tak terkontrol. Caranya bisa dengan mengubah topik yang sama sekali tak berhubungan, bercanda, atau mengelus pasangan dengan kata-kata menghibur. Jika pertengkaran terlanjur memanas, segera hentikan dan diam selama minimal 20 menit atau setelah Anda berdua kembali tenang, lalu bicarakan lagi dengan pendekatan yang berbeda.
5. Fokuskan pada sisi baiknya.
Dalam pernikahan yang bahagia, suami istri saling melontarkan pernyataan positip tentang hubungan mereka dan pasangan mereka. Mereka berusaha menciptakan sikap berpikir positip dalam menghadapi masalah dan menganggapnya sebagai tabungan emosional.
6. Hati panas kepala dingin
Suami-isteri yang sedang bertengkar biasanya tidak saling omong. Rumah menjadi neraka. Hati yang panas memerlukan pendinginan. Dalam kondisi itu kepala (akal sehat) diusahakan masih berfungsi. Cobalah memikirkan akibat perceraian yang begitu tragis. Ingat saja bahwa perkawinan itu 70% maaf dan 30% cinta.
7. Doa.
Obat yang paling mujarab untuk kemarahan adalah doa yang panjang. – The best medicine for anger is a long prayer, begitulah kata Thomas Aquino. Bagi saya, doa pasti bisa mengubah segalanya, sedangkan kekhawatiran tidak mengubah apa pun.
Akhirulallam, baiklah juga kalau kita kembali mengingat pesan Rasul Paulus pada jemaat di Efesus, “Apabila kamu marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” (Efesus 4:26,27). Sekali lagi ingatlah panggilan kita semua: “mertua - merasakan Tuhan itu ada”.
Ketika engkau berbeban, engkau dekat dengan Allah,
kekuatanmu, penolong mereka yang menderita.
Ketika engkau dibebaskan dari beban,
engkau dekat dengan dirimu sendiri, kelemahanmu.
Keutamaan dan kekuatan jiwa tumbuh dan menjadi kuat dalam ujian kesabaran.
0 komentar:
Posting Komentar