@Buku "XXX -
Family Way" (Kanisius)
“Bawalah cinta ke rumahmu karena disinilah cinta satu sama lain dimulai.” Bring love into your home for this is
where our love for each other must start.
Sebuah cerita pendek berjudul, “Buku Telepon” membuka tulisan ini: Alkisah di ruang kelas SMP Swasta Katolik, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas: "Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?"
Ada yang berceritera bahwa ia baru saja mendapat motor sport yang sudah diidamkannya sejak kecil. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.
“Bawalah cinta ke rumahmu karena disinilah cinta satu sama lain dimulai.” Bring love into your home for this is
where our love for each other must start.
Sebuah cerita pendek berjudul, “Buku Telepon” membuka tulisan ini: Alkisah di ruang kelas SMP Swasta Katolik, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas: "Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?"
Ada yang berceritera bahwa ia baru saja mendapat motor sport yang sudah diidamkannya sejak kecil. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.
"Pak Guru, aku belum bercerita". Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya. "Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah..saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu". Sesaat senyap. Tetapi sesaat kemudian terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu. Kelas menjadi gaduh. Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan. "Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak...".
Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. "Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa dikejar polisi". Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. "Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku.
Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi. Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di emperan setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya.” Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. "Itu artinya, akan ada harapan baru yang aku dapatkan nanti...".
Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan. Dan lalu mereka bertepuk tangan terharu. Mereka juga belajar satu hal: "Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain, terlebih yang ada di rumahmu. Sekecil apapun. Sebesar apapun".
Bicara soal rumah, saya teringat sebuah tempat bernama Betania. Betania sendiri berarti Rumah Kemiskinan, terletak di lereng timur Bukit Zaitun (bdk. Mrk 11:1), kurang lebih 2700 m jauhnya dari Yerusalem (bdk. Yoh 11:18) dan kini disebut Al-Azariye. Nama ini menggemakan nama kuno Lazarium yang diberikan oleh umat Kristen abad IV pada kampung ini. Dalam Perjanjian Lama, Betania disebut Ananya (Neh 11:32). Bagi umat Kristen, Betania mengingatkan Rumah Lazarus, Marta dan Maria. Nah, kita sebagai anggota keluarga (entah sebagai Maria, Marta atau Lazarus), dalam sebuah rumah Gereja Katolik universal, menyadari bahwa setiap anggota keluarga, seperti anak remaja di atas adalah makhluk sosial dalam rumah yang sama (Bhs Latin: socius: sahabat). Rumah sendiri bagi saya bukan berarti sekedar rumah atau bangunan semata. Bagi saya, rumah bisa berarti: “rukun dan penuh hikmah”, tempat harapan dan persaudaraan semakin mendalam. Penuh hikmah (Ibrani: ”Chotmah”) bisa berarti: bertindak dengan bijaksana. Hikmah adalah juga kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan yang benar, sehingga mampu menjalani kehidupan dengan trampil. Salomo dan Ayub menyadari betul fungsi hikmah kebijaksanaan dalam kehidupannya. Hikmah juga memiliki pelbagai muatan, al: berhati tulus, pendamai, peramah, pemurah, penuh belas kasihan, tidak memihak dan tidak munafik (Yak 3:17). Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita sendiri memiliki rumah – “rukun dan penuh hikmah” dalam hidup sehari-hari dengan segala gulat-geliatnya?
Sebuah kenyataan yang terjadi, kadang rumah menjadi tidak rukun dan tidak memiliki hikmah ketika salah satu pihak terus menuntut untuk dipenuhi semua kebutuhan psikologisnya, tanpa berusaha untuk berempati dengan pasangannya. Tentunya, pihak yang dirugikan pasti menghasilkan suatu reaksi tidak rukun dan tidak berhikmah, diakibatkan adanya sakit hati atau kecewa. Reaksinya bisa dua macam: mengampuni atau mendendam. Secara ideal, dalam kacamata iman, setiap anggota keluarga yang ingin belajar hidup rukun dan penuh hikmah, diajak untuk mengampuni dan tidak mendendam, mengingat sebuah pesan Yesus dalam Kotbah di Bukit, “yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah.” (Mat 5:7).
Di lain matra, Etika Kristiani memang selalu menekankan hubungan timbal balik. Kita ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Kita minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitupula bila kita mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti kita bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni: ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13). Atau juga pesan Yesus yang bangkit: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:22-23). Yah, inilah modal dasar membangun sebuah “rumah – rukun dan penuh hikmah,” yakni pengampunan.
Sejauh saya amati, secara umum terdapat dua buah jenis pengampunan, yakni:
a.”pengampunan formal”, yang berarti: mulut memaafkan, tapi hati tetap panas. Pemazmur menegur pengampunan jenis ini: ”Biarlah doanya menjadi dosa” (Mazmur 109:7). Mengapa? Sebab berdoa dengan mulut memuji-muji Tuhan, tapi dengan hati yang masih sesak oleh amarah yang tertahan, dan rasa dendam yang tak terlampiaskan, adalah dosa. Imbasnya adalah pribadi yang bersangkutan masih mempunyai kebencian atau dendam. Padahal, Norman Vincent Peale pernah menegaskan, “kebencian atau dendam ini tidak menyakiti orang yang tidak Anda sukai. Tetapi setiap hari dan setiap malam dalam kehidupan, perasaan itu akan menggerogoti kita, bukan?
b.”pengampunan sementara”, yang berarti: sekarang memaafkan, tapi siap untuk mengungkit-ungkitnya kembali kemudian. Dkl: Kesalahan-kesalahan orang atau pasangan cuma disimpan di ”gudang”. Padahal, sebenarnya orang-orang yang tidak pengampun, adalah orang-orang yang dengan sengaja menutup pintu pengampunan bagi dirinya sendiri, karena begitu mudahnya minta pengampunan, tetapi begitu sulitnya mengampuni, begitulah tukas Chrysostomus.
Satu hal yang paling penting dan paling benar ditegaskan dari dua jenis pengampunan di atas adalah, bahwa Allah hanya berkenan mengampuni orang-orang yang pengampun! Penginjil Markus mengutip sebuah pesan Yesus, “dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu. Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” (Markus 11:25-26).
Memang pada kenyataannya, setiap orang kerap memakai ‘topeng’-nya pada setiap relasi persahabatan (termasuk juga relasi pernikahan dan keluarga), kadang dengan maksud baik: Ia tak mau hal-hal buruk mengenai dirinya terlihat. Ingatlah Jim Carrey dalam kisah ‘The Mask’ : seseorang bisa begitu hebat dalam topengnya tetapi akhirnya yang menang dan berharga adalah diri sesungguhnya. Disinilah, mengacu pada sebuah pernyataan, bahwa setiap relasi persahabatan (termasuk juga relasi pernikahan dan keluarga) itu 70% memaafkan, 30% mencintai, maka marilah kita belajar menjadi diri yang asli, dalam bahasanya Ariel Peter Pan, “buka dulu topengmu”, sekaligus menjadi diri yang pengampun, terlebih mengampuni keluarga dan pasangan hidup kita masing-masing, sehingga kita semakin bisa menjadi orang yang “rukun dan penuh hikmah”, terlebih dalam keluarga: seminari dasar kita bersama.
“Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,
penuh kasih mesra dan saling mengampuni,
sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Rasul Paulus, Efesus 4 : 32
0 komentar:
Posting Komentar