Selayang
Pandang
Pada mulanya, yakni sebelum dikonstruksi menjadi ideologi kekuasaan Orde Baru, Pancasila lebih merupakan simbol kebersamaan yang ‘diideologikan’ demi kebersamaan dan keselamatan sebuah proyek yang lebih besar daripadanya, yakni Indonesia merdeka yang bulat dan utuh. Inilah motif dan alasan dasar pendirian Pancasila. Pendasaran ini yang kemudian berubah dalam ideologisasi Pancasila Orde Baru kemudian.
Akibatnya, di dalam Orde Baru, Pancasila –sejauh mau dilihat sebagai ideologi- adalah ideologi yang paling membuat repot. Mengapa? Karena pada pendirian awal mulanya, ia bukanlah sebuah ideologi dalam arti konvensional. Transformasinya menjadi ideologi dibangun secara dahsyat dan mengerikan, dilakukan berbarengan dengan mengkombinasikan kekerasan dan filosofikasi berlebih-lebihan. Hadirnya kekerasan dan filosofikasi dalam konstruksi pemaknaannya secara tidak langung merugikan tujuan awal keberadaannya.
Di sini orang yang merasakan pentingnya Pancasila dalam kerangka tujuan awalnya, direpotkan dengan keharusan untuk menyetujui juga pentingnya Pancasila dalam kerangka ideologisasinya itu. Filosofikasi Orde Baru yang menyatukan Pancasila dengan kekerasan menghasilkan kejengahan intelektual. Ada persetujuan dan kebutuhan akan Pancasila, tapi antusiasisme ke arah itu dengan segera terhalang oleh pengalaman penggunaannya dalam kekerasan. Ini yang membuat repot. Bagaimana ini dijelaskan? Sejauh mana kita bisa memisahkan Pancasila dari kombinasi filosofikasi dan kekerasan warisan Orde Baru?
Berbeda dengan liberalisme dan marxisme, yang memiliki susunan dan sistematisasi serta bangunan gagasan yang rigid sebagai ideologi, Pancasila sama sekali tidak memiliki latar dan instalasi seperti itu. Pancasila adalah sesuatu yang dianggap ada sebagai ideologi oleh karena suatu praktek politik yang mendahuluinya. Akibatnya, Pancasila tidak bisa dengan gampang dan begitu saja disamakan dengan ideologi-ideologi lain tersebut karena;
Pertama, dibandingkan dengan liberalisme, komunisme, sosialisme, dan nasionalisme, Pancasila dari mulanya adalah ide yang lahir dari sebuah proses politik yang sangat khusus, historik dan dilakukan demi menjawab kebutuhan praktis mengenai syarat-syarat pendirian negara merdeka. Dalam kerangka itu, dari awalnya, di dalamnya tidak ada proyek dan trajektori tentang bagaimana masyarakat ditata, bagaimana manusia-manusianya terbentuk dan bagaimana dia dioperasionalkan untuk menjangkau persoalan-persoalan dunia. Filosofikasi terhadapnya dimungkinkan baru setelah Pancasila mendapatkan tambalan tafsir dari paham integralisme. Jadi ideologisasi dan intelektualisasinya terjadi bukan karena potensi dari dirinya melainkan dari paham di luar dirinya.
Kedua, diskursus mengenai Pancasila sebagai ideologi, sepenuhnya bermotif pada pendefinisian dan pemaknaan politik, akibatnya usaha-usaha yang kemudian muncul untuk mengilmiahkan dan mensistematisasikannya lebih nampak sebagai upaya yang dipaksakan. Ini kelihatan dari banyaknya produksi berbagai konsep yang bersifat oxymoron mengenai Pancasila seperti ‘bukan ini bukan itu”, “bukan barat – bukan komunis”. Istilah ideologi terbuka misalnya sebenarnya lebih banyak menjelaskan ‘kekakuan” yang diakibatkan oleh upaya untuk melakukan filosofikasi dengan harapan mengurangi aspek politik kekerasan serta esensialisme dan kemutlakan di dalamnya.
Pancasila Sebagai Penanda Pendirian Republik Modern Indonesia
Sebelum menjadi semacam ideologi, Pancasila adalah suatu konsep hasil dari suatu perjanjian politik dalam sejarah Indonesia yang diadakan dalam rangka menjamin persatuan nasional dari suatu negara modern yang baru.
Sewaktu Soekarno menyebut Pancasila, Soekarno mengatakannya dalam rangka suatu kebutuhan politik partikular yakni bahwa “Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju...yang menjadi dasar Indonesia Merdeka”. Pentingnya dasar bagi kita semua itu ditegaskan lagi kemudian oleh Soekarno dengan pernyataan bahwa “ Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan...-tetapi semua buat semua”
Dengan melihat momen serta motif penyebutannya, Pancasila muncul sebagai sebuah konsepsi politik yang ada untuk menjamin keberlangsungan suatu kesatuan politik yang bernama Indonesia yang baru merdeka. Keperluan ini secara lebih tegas lagi dikemukakan oleh Soekarno beberapa saat kemudian, yakni ketika ia mengatakan bahwa :
“ Memang, rakyat Bali menyambut proklamasi dengan gegap gempita...Tetapi mereka menyambut proklamasi ini ialah karena proklamasi ini didasarkan kepada Pancasila ...Inilah dasar yang menjamin keutuhan bangsa kita yang beraneka agama, yang beraneka adat istiadat, yang beraneka suku.”
Dengan gagasan itu, maka meski menyebut dengan membandingkan dan mensejajarkan dengan berbagai ideologi serta pemikiran seperti marxisme, fasisme, islamisme, fungsi akhir dan utama Pancasila pada dasarnnya adalah menjamin keberlangsungan kemerdekaan nasional.
Di titik ini, sebagai konsep, Panca Sila adalah konsep yang mengabdi suatu kepentingan praktis yakni pertama ia ada sebagai penanda pendirian Republik Indonesia, dan kedua ia menjadi konsep yang mempersatukan, semacam konsensus yang bisa diterima segala golongan. Dengan menyebut dan mempertimbangkan aspirasi ‘rakyat Bali”, perbedaan agama-agama, adat istiadat dan suku-suku, di dalam pidatonya itu, maka Soekarno menghadirkan Pancasila sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan persatuan Indonesia dari kemungkinan perpecahan akibat dari berbagai perbedaan sosial-antropologis.
Jadi di sini, meski menyebut-nyebut berbagai ideologi dan gagasan, Soekarno tidak pernah membangun suatu teoritisasi yang mengarahkan Pancasila menjadi semacam ideologi dengan struktur dan tubuh kefilsafatan yang rigid dan baku. Pancasila adalah pandangan bersama yang perlu ada sebagai syarat minimal pendirian Indonesia Merdeka. Di sini Pancasila hampir mirip dengan Declaration of Independence-nya Amerika, terlepas dari bahwa Amerika merupakan negara penganut liberalisme terbesar, sebagai sebuah piagam politik Declaration itu memiliki fungsi lain dan tetap terus dipertahankan sebagai ciri republik tersebut.
Kedudukan Pancasila sebagai instrumen persatuan ini secara jelas nampak dalam berbagai perdebatan serta pertentangan politik yang kemudian muncul sepanjang sejarah pendirian Indonesia. Setelah 1 Juni, dalam perdebatan mengenai Pancasila sebagai dasar negara, muncul dua jenis penafsiran yakni antara apa yang disebut sebagai ‘golongan kebangsaan’ (Soekarno, Hatta, Yamin) dan yang kedua adalah golongan Islam. Hasil dari perdebatan 22 Juni 1945 itu melahirkan apa yang disebut Soekarno sebagai gentleman agreement untuk menerima Piagam Djakarta.
Namun demikian 18 Agustus 1945, gentlement agreement ini kemudian berubah lagi yakni dengan dihilangkannya tujuh kata ‘ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Sya’riat Islam bagi pemeluknya’. Yang penting di sini adalah, kenyataan bahwa dalam waktu dua bulan itu, dokumen politik yang demikian penting berubah secara drastis.
Apabila dalam hal perumusan awalnya yakni 1 Juni dan 22 Juni 1945 itu Soekarno yang mengambil peran yang begitu besar, maka dalam perubahan ini, argumen penting datang dari Hatta, Wahid Hasyim, Agus Salim dll., yakni bahwa penghapusan tujuh kata itu dilakukan dengan mempertimbangkan ‘perasaan” dari wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya non-muslim’. Dalam istilah Hatta, penghapusan itu dilakukan agar Indonesia mencapai suatu ‘persatuan yang bulat”. Dengan demikian di sini –setelah 1 Juni- ditegaskan secara politik bahwa kedudukan Pancasila sebagai penjaga persatuan Indonesia.
Namun demikian, sebagai hasil sebuah kesepakatan politik, maka pendefinisian Pancasila ini selalu ringkih terhadap berbagai upaya pemaknaan, perubahan dan kontestasi. Ini bisa dilihat dalam ketegangan politik yang kemudian muncul di era-era sesudahnya.
Paling tidak hingga akhir tahun 50’an, dalam era konstituante (1956-1959) muncul kembali pertentangan tiga kubu yakni ‘blok Pancasila’ (PNI, PKI, Partai Katolik, PSI dsb), ‘blok Islam (Masyumi, NU dsb)’ dan ‘blok sosial ekonomi’ (Murba, Partai Buruh, Acoma). Sayangnya di sini, dengan pengaruh Angkatan Darat, Soekarno kemudian menghentikan dan memutus seluruh debat konstituante itu dengan Dekrit kembali ke UUD 45. Dari sini kemudian kita bisa mulai melihat suatu perbedaan dan suasana politik yang sama sekali lain, apabila di masa 1945–meski dalam masa yang lebih genting- Pancasila dicapai oleh suatu rasionalitas politik yang dialogis, maka pada tahun 1959 ini, tradisi diskursus rasional dalam merumuskan dasar negara itu berubah sama sekali karena keterlibatan represi dan otoritas Soekarno.
Di titik ini kiranya, pemaknaan dan pendefinisan politik Pancasila mulai dilakukan dalam suatu orientasi politik kekuasaan yang lebih sempit, bukan lagi dalam kerangka sebagaimana pada Hatta yakni ‘kesatuan Indonesia yang bulat’. Di dalam Soekarno, tanda-tanda ke arah itu telah bisa dilacak sebelum Dekrit 5 Juli. Meski tidak dalam kekejaman dan tidak semanipulatif Orde Baru, Soekarno memulai memulai praktik penggunaan Pancasila lebih dalam kerangka keperluan politik yang bersifat personal yakni mempertahankan pendirian kekuasaan politiknya. Kenyataan ini bisa kita lihat dalam praktek bagaimana diskursus Pancasila itu dipakai untuk menopang Demokrasi Terpimpin dan Dekrit 5 Juli yang menghebohkan itu.
Salah satu contoh besar di sini adalah apa yang terjadi pada momen 16 Februari sampai dengan 20 Februari tahun 1959 di Jogjakarta, yakni dalam momen Seminar Pantjasila ke 1, beberapa bulan menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hasil Seminar Pantjasila ke-1 itu dirumuskan dalam lima pokok pikiran sebagai berikut:
1. Pantjasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia Indonesia tidak perlu diperdebatkan lagi;
2. Demokrasi Terpimpin sebagai penjelenggaraan pemerintahan untuk merealisasi tjita-tjita Negara Proklamasi 17 Agustus 1945;
3. Masuknya golongan Fungsional dalam badan-badan kenegaraan;
4. Azaz ke-Tuhanan Jang Mahaesa sebagai salah satu Sila dalam rangka kesatuan Pantjasila jang bisa menjamin adanya pemeliharaan dan perkembangan kejakinan agama;
5. Kembalinja setjara prinsipiil pada Undang-undang Dasar Proklamasi 17 Agustu 1945.
Di sini nampak secara jelas bahwa Seminar Pantjasila merupakan semacam pemanasan menjelang dekrit. Di sini, dalam kebutuhan politik zamannya, Pantjasila dipergunakan secara praktis untuk melegitimasi kepentingan politik pada masa itu yakni untuk memberikan dasar bagi Demokrasi Terpimpin dan Dekrit 5 Juli. Kesimpulan ini secara terang dipertegas lagi oleh Soekarno dalam amanatnya di hari penutupan seminar tersebut. Dalam kesempatan itu ia mengatakan bahwa:
“Bahkan seminar ini memberi dukungan jang kuat kepada idee demokrasi terpimpin, memberi petundjuk-petundjuk pula jang berharga kepada pelaksanaan daripada demokrasi terpimpin” (Soekarno, 1959, hlm. 215)
Setelah menegaskan relevansi Seminar Pantjasila itu bagi demokrasi terpimpin, Soekarno bergerak lebih jauh manakala ia mengatakan:
“Saja akan minta nanti kepada Sidang Konstituente, oleh karena toch Republik jang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah membawa dengannya satu UUD jaitu UUD’45, agar supaja Konstituante kembali sadja kepada UUD’45” (Soekarno, 1959, hlm. 215)
Dengan amanat semacam itu, maka lepas dari kesadaran awal untuk meletakkan Panca Sila sebagai dasar pendirian Republik Indonesia, Soekarno sendiri ikut menyumbang dalam menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai tujuan akhir atau apa yang disebut oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai ‘perjanjian moral’ yang luhur dan tertinggi bangsa Indonesia melainkan juga sebagai instrumen politik yang mengabdi pada tujuan politiknya sendiri.
Seminar Jogja yang diikuti dengan Dekrit 5 Juli dan Demokrasi Terpimpin itu memperlihatkan secara jelas suatu tahap baru dalam proses pemaknaan Pancasila yang semula ia digunakan secara terbatas sebagai identitas kebangsaan dan tanda persatuan, mulai berubah dan diarahkan ke arah pembentukan dan pembenaran kekuasaan politik. Namun demikian dalam masa Soekarno itu, hingga masa akhir kekuasaanya, Pancasila belum sempat dikonstruksi sebagai sebuah ideologi dengan sistem dan struktur yang baku dan rigid yang memiliki unsur-unsur tuntunan pemahaman situasi sosial; mengarahkan kepada tujuan masa depan; serta memberi garis bagi tindakan. Dengan menggunakan istilah Zizek, bisa dikatakan bahwa di dalam Soekarno Pancasila baru hadir sebagai doktrin, ia belum diinstitusionalisasikan dan dioperasikan menjadi sebuah belief, juga belum dicocok-tanamkan ke dalam sistem tindakan individu.
Baru kemudian, di era Soeharto ia diisi dalam bentuk yang paling vulgar di tingkat tindakan yakni melalui jalan kekerasan, pembantaian, dan tingkat filosofikasinya yang paling sophisticated (melalui pembentukan konsepsi manusia Pancasila, keluarga Pancasila dsb). Hebatnya lagi dalam kerangka itu, Soeharto menambahkan elemen yang sangat penting dan mujarab dalam ideologisasi Pancasila ini yaitu paham negara Integralistik Soepomo. Di dalam Soehartolah Pancasila dikukuhkan sebagi doktrin, diinstitusionalkan ke dalam sebuah sistem belief (P4, BP7) dan disuntikkan menjadi pola tindakan individu.
Menuju Totalitarianisme dalam Negara Pancasila Orde Baru?
Pemaknaan Pancasila oleh Orde Baru dimulai dengan apa yang dalam pengertian Foucault disebut sebagai discursive practise yakni praktek pemecahan subyek atas unsur-unsur yang dibedakan satu sama lain berdasarkan kategori kekuasaan. Dalam soal Pancasila, praktik diskursif dilakukan pertama-tama dengan mengkonstruksi pembelahan antara dua pelaksanaan yakni Pancasila yang murni dan konsekuen dengan Pancasila yang diselewengkan. Subyek yang ditunjuk di sana adalah: Soekarno/Orde Lama sebagai penyeleweng Pancasila dan di sisi yang lain Orde Baru/Suharto sebagai –sebagaimana Orde Baru menyebut dirinya- ‘sebuah tatanan negara dan bangsa yang didadasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen’. Ini berlanjut dengan pemecahan subyek-subyek atas Pancasilais dan Bukan Pancasilais, Pengkhianat Pancasila, anti-Pancasila berhadapan dengan “Keluarga Pancasila”, Desa Pancasila, Pemuda Pancasila dsb.
Titik pembeda yang jauh lebih signifikan dalam melihat politik diskursif Orde Baru dapat kita mengerti dengan memahami klaim atas makna ‘pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen’. Apa yang dimaksud murni dan konsekuen di sini? Apabila dilihat dari postur ideologi politik Orde Baru, murni-cemarnya Panca Sila ditentukan oleh dua hal yakni pertama adalah sejauh mana adanya ideologi atau sub-ideologi lain dari luar tapi menopang penafsiran dan pemaknaan Panca Sila. Dalam sudut pandang Orde Baru ‘murni dan konsekuen’ berarti pertama-tama adalah bebas atau bersih dari penafsiran dan pengisian oleh ideologi lain -dalam hal ini ideologi komunisme atau marhaenisme yang dilihat sebagi sub dari Pancasila. Pada tahap kedua (setelah komunisme dan marhaenisme dibersihkan) kemurnian Pancasila terus juga berarti harus steril dari tafsir liberal. Dengan demikian kemurnian Pancasila berarti Pancasila itu bukan komunis bukan juga liberal. Di sini berlaku suatu kenyataan yang sebenarnya yakni bahwa pada akhirnya makna utama dari Pancasila, apa isinya dan ke mana arahnya memang secara khas dan eksklusif ditentukan sendiri oleh Orde Baru.
Di titik ini, makna Pancasila pada akhirnya dikonstruksi tidak hanya secara monopolistik oleh kekuasaan Orde Baru tapi juga dirombak benar-benar secara baru dan dibentuk secara berbeda melalui pemutusan hubungan keterikatan dan fungsi historisnya dari masa lampau. Untuk keperluan pemutusan historis, inilah maka berbagai cara kemudian dilakukan seperti misalnya: menanggalkan tradisi 1 Juni sebagai Hari kelahiran Pancasila, pembuatan diorama Lubang Buaya, menggantikan tradisi 1 Juni dengan upacara di Lubang Buaya, serta pemutaran Film Pengkhianatan G 30 S setiap tahun.
Yang kedua yang juga dilakukan adalah pengkramatan dan magifikasi Pancasila. Dengan itu, Orde Baru sebenarnya secara cerdik meletakkan Pancasila sebagai sesuatu yang berada di wilayah keagungan adi-kodrati. Akibatnya adalah ia makin tampil dalam ekslusivitas, sehingga dengan itu ia pun mengukuhkan tafsir eksklusif monopoli Orde Baru. Yang ketiga, pengkramatan itu dilekatkan secara khusus pada suatu memori kekerasan kolektif yang dialamatkan kepada golongan komunis dan pengikut-pengikut Soekarno. Pada bagian yang ketiga ini, aspek transendental juga dimainkan yakni bahwa kaum komunis dikonstruksi sebagai kaum bejat (tukang silet alat kelamin, penari telanjang, pembunuh berdarah dingin) yang harus dibedakan dengan kaum suci pemegang Pancasila.
Melalui proses inilah kemudian Orde Baru memang memantapkan Pancasila sebagai sebuah ideologi tunggal. Penunggalan di sini sebenarnya tidak lebih dari keinginan untuk menunggalkan dirinya sebagai satu-satunya wadah kepolitikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan perkembangan ke arah ini maka Pancasila kemudian hadir dalam suatu format kemaknaan yang sama sekali berbeda; Pancasila yang semula berfungsi sebagai penanda persatuan menjadi penanda kekuasaan. Dari sign of unity menjadi sign of power.
Baru dari sini, setelah sukses mengukuhkan fondasi dan penanda kekuasaan, Orde Baru kemudian menggunakan Pancasila dalam kebutuhan penataan masyarakat dan politik secara lebih luas.
Di sini kita mendapatkan adanya pola penggunaan Pancasila oleh Orde Baru yakni: membangun totalisasi politik melalui konsep kewargaan yang partikularistik. Penggunaan secara jelas dapat kita pahami dari pandangan Soeharto yang menulis bahwa:
Pancasila menetapkan menghormati hak individu. Tetapi Pancasila menetapkan juga individu itu mempunyai kewajiban sebagai makhluk sosial...Apakah seseorang atau sekelompok orang boleh bebas saja menyatakan pendapat tetapi merusak kepentingan negara, kepentingan bangsa, kepentingan golongan lain dan kepentingan keluarga lain semata-mata karena menurutkan kepentingan sendiri? Ini tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila. (Soeharto, 1989, hlm. 422-423)
Di sini, pandangan mengenai Pancasila menjangkau dimensi yang sangat luas; tidak hanya dimensi politik tetapi juga dimensi antropologis yang rigid, yakni:
Satu, Pancasila digunakan oleh Soeharto untuk merumuskan siapa warga negara atau siapa orang Indonesia dan hak-haknya. Di dalam sudut pandang Soeharto ini individu dilihat sebagai bagian dari totalitas masyarakat dan negara secara umum. Pendirian atas hak individu ditentukan sejauh dalam pertautannya dengan keberadaan dan kedudukan negara, masyarakat bahkan keluarga. Tanggung-jawab terus ada mendahului kebebasan yang tidak pernah ada. Dengan begitu di sini warga atau orang Indonesia didefinsikan sebagai pasive bearer of duties, haknya baru bisa disebut hak sejauh ia menyadari kedudukannya sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar dan luas. Dengan begitu di dalam konsepsi Pancasila Soeharto ini hak-hak sebagai pencerminan dari kebebasan individual tidak diakui karena konsepsi hak yang diakui adalah sejauh ia diturunkan dari kepentingan kelompok yang lebih besar. Di sini, identitas komunitas jauh lebih penting ketimbang identitas individual.
Dua, mengkonstruksi siapa Manusia Indonesia/Manusia Pancasila. Politik kewargaan ini kemudian juga dilanjutkan dengan konstruksi yang lebih hebat menyangkut ruang yang sangat privat . Yakni dengan pelebaran diskursus politik Pancasila ke dalam ruang privat dan melalui individuasi politik. Di sinilah lahir konsep “manusia Indonesia yang utuh”, “manusia Indonesia yang lengkap”, “manusia Pancasila”, “keluarga Indonesia”, “keluarga Pancasila”, termasuk “anak Pancasila”.
Philip Kitley melihat, salah satu taktik dan cara halus namun efektif dalam konstruksi negara atas pribadi Pancasila ini dilakukan melalui pembentukan tipe ideal mengenai “anak” dan keluarga Pancasila dalam figur yang sangat mashur sampai era 80’an yakni Si Unyil. Si Unyil, adalah anak ajaib yang mencerminkan pertama, masyarakat atau komunitas ideal (desa suka maju), manusia ideal (berpeci, bersarung, rajin puasa, religius tapi meng-Indonesia); kedua, mencerminkan pluralitas dan harmoni; ketiga, tidak feodalistik tapi tidak juga kebarat-baratan. Kitley mengatakan bahwa anak ajaib ini muncul memang dalam kebutuhan akan suatu strategi politiko-kultural yang menekankan bahwa P4 harus diterapkan ‘sedini mungkin’. Ini persis sebagaimana dikehendaki oleh Suharto ketika mengatakan bahwa ‘hanya seorang yang berkepribadian Pancasila dapat membangun suatu masyarakat yang berdasarkan Pancasila’
Dengan memasuki ruang privat dan proses individuasi itu, maka Pancasila bergerak membentuk suatu kesatuan yang menjangkau semua elemen. Mulai dari bentuk masyarakat, pikirannya hingga pembentukan ciri individual kemanusiaan dan kepribadiannya. Di sini Pancasila berkehendak menjadi totalitarian.
Ketiga, sebagai penolakan terhadap demokrasi dan hak asasi. Penolakan terhadap hak dan kewajiban individu serta kebebasan mengeluarkan pendapat itu, dilakukan oleh Soeharto dalam pandangan sebagai berikut:
Saya tahu, terhadap diri saya ada yang senang, tetapi juga ada yang tidak senang. Mereka yang tidak senang dengan sendirinya mengeluarkan ucapan seperti isi hatinya...Tetapi kalau ucapan-ucapan dan pernyataan-pernyataan mereka itu sudah keterlaluan menyinggungnya, sudah keterlaluan melanggar hukum, dengan sendirinya perbuatan mereka itu bisa saja dihadapkan ke pengadilan. (Soeharto, hlm. 423).
Penggunaan Pancasila dalam makna yang khas berlawanan dengan paham demokrasi sekali lagi ditampilkan oleh Soeharto, ketika ia merespon munculnya kritik dari kalangan oposisi pada jaman itu dengan sikap sebagai berikut:
Pada tahun 1980 muncul apa yang menyebut dirinya “Petisi 50”....Orang bertanya, di mana tempatnya kelompok oposisi di negeri kita ini?..Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat...(Soeharto, hlm. 347).
Dari sini Soeharto menegaskan pandangan yang jelas yakni bahwa demokrasi Pancasila tidak memberikan tempat bagi oposisi. Bukan hanya itu, dengan itu ia juga menegaskan suatu sikap partikularistik khas Soepomo yakni bahwa demokrasi itu ide barat sementara Pancasila itu ide asli Indonesia. Lebih jauh lagi kemudian Soeharto menegaskan:
Dalam negara Pancasila dan Demokrasi Pancasila, kalau ada yang menyatakan tidak setuju, OK saja. Tetapi kalau sudah bertindak menyalahi hukum, ya, sepatutnya diambil tindakan terhadapnya. (Soeharto, hlm. 347)
Kemudian dengan kelegaan yang bikin gawat, Soeharto menandaskan:
“Tujuan kita tidak lain adalah untuk memanunggalkan semua lapisan, golongan, kekuatan, dan generasi bangsa kita dengan dasar, ideologi, dan cita-cita bangsa dan negaranya. Dengan demikian, seluruh lapisan, golongan dan kekuatan bangsa kita akan dapat terhindar dari konflik-konflik batin dan ketegangan-ketegangan yang menjadi sumber perpecahan dan luka-luka bangsa. (Soeharto, hlm. 409).
Soeharto mengungkapkan tujuan kita adalah memanunggalkan semua lapisan golongan, kekuatan dan generasi dengan dasar, cita-cita dan negaranya. Konsekuensi dan bentuk praktis dari pandangan ini secara tegas dilakukan Soeharto dengan menerapkan suatu sistem kepartaian yang sebenarnya tunggal dengan landasan Asas Tunggal. Maka Soeharto secara penuh menggenapi apa yang pernah dikehendaki oleh Soepomo ketika ia mengatakan “negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan lekat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis” Di dalam Soeharto, Pancasila secara unik dikombinasikan dengan integralisme, hanya bedanya di dalam Soepomo, integralisme berhenti sebagai gagasan yang dikumandangkan dalam suatu diskursus kepolitikan yang rasional, di dalam Soeharto, Pancasila/integralisme ini dikumandangkan dalam pesan politik kekuasaan yang bisa segera dilanjutkan dengan segala bentuk ancaman dan opresi.
Di sini yang tidak pernah diperdulikan oleh Soeharto adalah, kenyataan bahwa justru dengan penerapan Panca Sila melalui jalan kekerasan , imaji dan tujuan persatuan nasional yang sejati justru makin menjadi rapuh. Karena semakin digunakan dalam kekerasan, semakin kuat anti-pati dan resistensi bermunculan. Pancasila dalam praktek politik Orde Baru bukan mempersatukan Indonesia, tetapi justru memisahkan dan memecah Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik.
Ketiga, meredam resistensi sosial melalui stigmatisasi kriminalisasi: diskursus komunis/PKI Orde Baru.
Rahasia tragedi 65 adalah, wilayah ‘keramat’ yang sedemikian rupa dijaga dari pengetahuan publik. Tahun dan peristiwa itu telah menjadi semacam –dalam istilah Zizek- poin de capiton dalam arti yang sempit bagi Pancasila a la Orde Baru, yakni bahwa pemaknaannya sama sekali bukan lagi diproduksi oleh suatu tafsir akademik yang bebas dan luwes, melainkan dipandu dan ditempatkan dalam suatu arena yang dikuasai oleh berbagai pihak mulai dari aparatur negara Orde Baru, intelektual binaannya, serta ulama/rohaniawan yang terlibat di dalam peristiwanya demi menjaga kerahasiaan dan kekramatannya.
Oleh karenanya, tahun 65 adalah tahun eksistensial bagi Orde Baru dan seluruh pihak yang mendukungnya. Di sini semua harus bisa ditarik dan dipanggil pulang ke dalamnya, dalam arti ini diskursus politik apa pun mau dijelaskan dan dipelihara dengan memelihara kenangan ‘kejayaan’ tahun ini.
Di titik ini, maka Orde Baru dan Pancasila yang ‘dimurnikan’ di dalamnya, menjadi pembatas dan ukuran baru bagi siapa pun. Orde Baru/Pancasila artinya bukan Orde Lama, artinya bukan Soekarno, bukan komunis dan bukan PKI. Artinya lagi, yang menentang Orde Baru –dalam hal ini kebijakan-kebijakannya maupun yang bukan kebijakannya- akan berarti melawan Pancasila yang ‘murni dan konsekuen’.
Pembentukan demarkasi politik semacam ini tidak lain adalah pembentukan wilayah teror. Karena pada kenyataannya dia lebih banyak digunakan untuk menilai dan mematikan berbagai bentuk gerakan sosial yang muncul sebagai akibat dari buruknya kebijakan sosial dan ekonomi Orde Baru. Yang paling jelas di sini adalah dalam hal meredam gerakan buruh dan gerakan komunitas serta petani.
Di dalam gerakan buruh, pembentukan kontrol ini terasa lebih jelas, karena Orde Baru –waktu itu masih ada Sudomo- membentuk apa yang disebut dengan Hubungan Industrial Pancasila. Yang intinya adalah menekankan pentingnya melihat pekerja dan majikan sebagai mitra yang saling menjaga demi pembangunan dan harmonisasi. Dengan pandangan industrial semacam itu, maka jelas setiap muncul protes buruh, dengan segera akan dituduh melawan Pancasila/disusupi komunis/PKI.
Di titik ini Pancasila memang kelihatan gagah dalam menghadapi komunisme dan PKI tetapi begitu lemah apabila digunakan untuk menjawab persoalan rakyat yang paling dasar seperti kemiskinan dan ketidakadilan sosial.
Kesimpulan
Dengan penjelasan ini, maka dapat kita katakan secara sederhana dan umum bahwa sebenarnya terdapat dua Pancasila.
Yang pertama adalah Pancasila yang awal, yang berfungsi sebagai penanda persatuan dan pengikat berbagai perbedaan, menjamin kemajemukan, kesatuan nasional dan penyemat pendirian republik modern Indonesia. Pancasila yang pertama ini adalah Pancasila yang belum atau tidak mengalami ideologisasi , ontologisasi dan jaminan represi.
Pancasila yang kedua adalah Pancasila yang telah direkonstruksi oleh Orde Baru dengan penyumpalan politik pemaknaan pasca kekerasan tahun 1965. Di sini Pancasila pertama-tama memang berfungsi sebagai demarkasi yang membangun batas historis antara Orde Baru dengan Orde Lama. Pada yang kedua ini Pancasila dikonstruksi sebagai suatu sistem nilai yang khas partikular. Di sini filosofikasi dan ideologisasi Pancasila mengalami tahap yang paling tinggi, vulgar dan fundamental. Yang mencolok dalam proses kedua ini, ketubuhan politik Pancasila sebagai ideologi dimungkinkan dengan bantuan integralisme Soepomo.
Akibat transformasi menjadi ideologi ke arah totalitarianisme di bawah Orde Baru, Pancasila yang semula merupakan penanda persatuan di dalam perbedaan dan ideal penting dalam pendirian republik modern justru mengalami kerusakan.
Yang pertama adalah, dia menjadi obsolete (lapuk) karena terlampau sering diperlawankan dengan gagasan modern seperti demokrasi dan hak asasi.
Yang kedua, dia dianggap
sebagai sumber represi yang mengakibatkan trauma sosial bagi banyak orang.
Yang ketiga, Pancasila tidak dapat masuk dan ikut serta ke dalam wacana perubahan politik demokratisasi di Indonesia. Akibat terjauhnya adalah, transisi di Indonesia, mengalami defisit ideal dalam rangka mempertahankan ciri kolektifnya. Di sini demokrasi berjalan tanpa suatu politik kewarganegaraan yang baru.
Tantangan untuk Kembali ke Pancasila
Setelah runtuhnya Orde Baru dan munculnya reformasi, Pancasila dianggap sebagai semacam ‘ampas politik’ yang ikut terbenam bersama Orde Baru. Namun demikian, justru dalam reformasi ini, pertumbuhan demokrasi di Indonesia mesti menghadapi dua tantangan yang berat, al:
Yang pertama, adalah menguatnya gejala transaksionalisasi dan komodifikasi segala bentuk ruang kehidupan. Di sini, yang lain dipandang sebagai alat dan semata-mata koin dalam pertukaran kepentingan. Maka solidaritas, rasa dan kerelaan untuk berkorban untuk kepentingan umum atau orang lain menjadi tidak mendapat tempat. Dengan begitu, kemanusiaan dan keadilan sosial menjadi muskil, karena kemanusian dan keadilan hanya mungkin dengan mensyaratkan adanya kesadaran manusia untuk hidup dalam kebersamaan dengan yang lain. Parahnya lagi, gejala ini mengendap secara lebih kuat justru di wilayah-wilayah publik yang utama yakni dunia politik. Transaksionalisasi dan komodifikasi telah mencaplok dunia politik kita dan mengubahnya justru menjadi pasar.
Yang kedua, gejala totalisasi lain muncul dalam menguatnya fundamentalisme agama dan sektarianisme. Fundamentalisme dan sektarianisme tidak hanya mengklaim suatu kebenaran tunggal, lebih jauh lagi ia juga memaksakan pereverensi atas kebenaran tunggal itu sebagai kebenaran yang mesti dianut oleh yang lain. Fundamentalisme tidak hanya cukup dengan klaim bahwa ‘apa yang ia kenakan paling patut’ ia juga menghendaki ‘yang patut buat dia mesti juga patut buat yang lain’.
Dengan kata lain, fundamentalisme melihat perbedaan sebagai halangan dan ancaman, yang oleh karenanya muncul agresivitas untuk menghapus dan meleburkan kemajemukan, bila perlu dengan kekerasan dan paksaan. Dengan begitu, di sini, fundamentalisme juga bermaksud menguasai ruang publik dengan menjadikan diskursusnya sebagai satu-satunya diskursus publik yang boleh ada.
Dengan begitu baik pasar maupun fundamentalisme sebenarnya memiliki perilaku yang sama, yakni keduanya hendak mengeliminasi politik sebagai arena publik. Keduanya sama-sama berkemauan mentotalisasi dan menyeragamkan seluruh dunia kehidupan. Di dalam totalisasi ini tidak pernah akan ditemukan keadilan serta kemanusiaan. Keadilan dan kemanusiaan tidak akan pernah dicapai tanpa mengandaikan pluralisme.
Singkatnya dan pada akhirnya kehadiran dua totaliasi ini menantang pendirian-pendirian persatuan Indonesia dalam pengertiannya yang paling fundamental. Di titik ini kita kembali perlu membicarakan Pancasila. Maka di titik ini kita kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini; Pancasila yang bagaimana yang bisa berdamai dengan demokrasi?
Dari pemahaman terhadap ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru, kita memahami bahwa justru berbagai filosofikasi (melalui Soepomo) dan ontologisasi malah menjadikan Pancasila menjadi paham yang cenderung totaliter. Kemutlakan dalam Pancasila telah mengambil korban yang sangat besar dan malah memecah masyarakat Indonesia sendiri.
Dari pelajaran ini, maka di sini tersedia beberapa kemungkinan.
Yang pertama adalah menghadirkan Pancasila dalam fungsi dan tujuan aslinya yakni -sebagaimana yang disampaikan Ong Hok Ham- semata-mata sebagai kontrak, penanda persatuan dan pendirian republik. Di sini seluruh bangunan filsafat, ontologisasi dan metafisikanya dirontokkan karena sama sekali tidak diperlukan. Esensialisme dalam Pancasila ditolak dan dia dikukuhkan benar-benar secara praktis dalam hukum/konstitusi sebagai ideal pemersatu.
Atau yang kedua, kita tetap mempertahankan esensialisme di dalamnya, namun kita buang partikularisme Soepomonya secara total. Partikularisme bawaan Soepomo digantikan dengan suatu tafsir universal. Di sini setiap sila tetap diturunkan dan ditafsirkan di dalam nilai-nilai universal mengenai demokrasi, hak asasi, keadilan sosial, juga diajarkan –bukan lewat doktrin penataran P4 – tetapi melalui pendidikan demokrasi kewargaan.
Yang ketiga mungkin adalah menggabungkan keduanya, memangkas esensialisme dan sekaligus memberikan penafsiran universal ke dalam penggunaannya. Yang keempat, kita kembalikan Pancasila kepada fungsi awalnya yakni sebagai dasar dan simbol pemersatu pendirian republik yang berbhinneka. Di sini bukan aspek ideologisasinya yang dikencangkan tapi justru fungsi pragmatisnya; sejauh mana Pancasila menopang kemanusiaan dan demokrasi, sejauh mana Pancasila menopang gagasan keadilan. Lebih lanjut, dengan itu, di sini metode menjadi jauh lebih penting daripada ‘ideologi’, dalam arti bahwa dalam kerangka demokrasi sekarang, Pancasila justru akan lebih hidup dan kuat apabila ia dipelajari dalam dan selaras dengan pembelajaran demokrasi rakyat sendiri.***
0 komentar:
Posting Komentar