Ads 468x60px

Gerakan Mahasiswa Indonesia

Dulu, Kini dan Nanti

I. Prawacana: 
Senin sore - menjelang adzhan maghrib- di perpust’ kampus filsafat yang asri – tidak sengaja, saya menemukan seonggok kata dalam bahasa Yunani “paidea”, yang berarti pemuda (dari sana pula mungkin muncul kata “pedagogis”). Orang Yunani memandang pemuda sebagai pemasok masa depan yang utama. Erasmus Huis, juga pernah mengatakan bahwa: “masa depan suatu bangsa ditentukan oleh baik-buruknya pendidikan orang mudanya.” Yah, peran orang muda memang vital. 

II. Gerakan Mahasiswa: Sebuah Kilas Balik 
Gerakan mahasiswa identik dengan momentum!!! Setelah agak lama, pasca 80-an dengan NKK_BKK, gerakan mahasiswa melempen, tahun 90-an, mereka mulai membangun kembali aktivitas kampus serta aktif dalam pelbagai kegiatan advokasi kasus-kasus rakyat. Lahirnya organisasi mahasiswa berskala nasional (ex:SMID), aktif melakukan pendampingan atas kaum buruh-tani sebagai stratak perjuangan. Intimidasi dan teror dari rezim OrBa adalah konsekuensi yang harus diambil sampai dengan crack down/tiarapnya gerakan mahasiswa pasca kudatuli ’96 (kasus dua tujuh juli). Dua tahun kemudian, gerakan mahasiswa bangkit lagi. Mereka mampu menggulingkan kekuasaan rezim Suharto (meskipun ada faktor pendorongnya: krisis moneter, momentum SU MPR Maret ’98, Suharto’s re-elected ). Tahun ’98 adalah saat-saat revolusioner dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia, terlebih pasca tragedi Trisakti dan Medio Mei (bersifat sporadis, global di pelbagai pulau, menguasai banyak instansi pemerintah-jalan-jalan protokol). Dengan tuntutan reformasi (pergantian Presiden, pengadilan Suharto, Cabut Dwifungsi ABRI), mereka bahkan dapat menguasai gedung MPR/DPR. Dalam kurun waktu ini juga, bermunculan ratusan komite mahasiswa dengan pelbagai simpul dan korlap (koordinator lapangan) yang tersebar dipelbagai kota: FKSMJ, KamTri, Forkot, Famred, Gempur. Namun, pasca 21 Mei (Suharto turun) ini, secara multa et multum (kualitas+kuantitas) gerakan mahasiswa menurun. 

Mereka kembali bangkit menjelang momentum SU MPR di medio November, tepatnya 13-14 Nov. Aksi-aksi besar terjadi di Jakarta, di mana sekitar satu setengah juta mahasiswa plus bendera almamater dan gerakan serta lagu-lagu/yel-yel perjuangan berkumpul di depan kampus Atmajaya. Kemudian, mereka rally/long march ke gedung MPR/DPR sampai kemudian meletus insiden Semanggi I (so, banyak mahasiswa yang masuk memenuhi rumah sakit-ala pejuang RI yang baru pulang bertempur) yang mampu menyeret solidaritas mahasiswa dan rakyat untuk bersatu. Akhir ’98 sampai Juli ’99 praktis gerakan mahasiswa mati. Hanya sebagian kecil gerakan melakukan aksinya. 

Baru pada medio September ‘99, gerakan mahasiswa menunjukkan resistensinya terhadap rezim penguasa. Penolakan RUU-PKB, memanaskan konstelasi gerakan mahasiswa di pelbagai kota besar Indonesia. Di Jakarta, ribuan mahasiswa dari pelbagai kampus melakukan aksi ke gedung MPR/DPR dan tertahan di sekitar Senayan, sehingga terjadi bentrokan “Semanggi II” yang kembali meminta nyawa dan menghasilkan SU MPR dan duet Gus Dur-Megawati. Dan, ketika muncul momentum Brunei dan Bulloggate plus memorandum SU MPR, gerakan mahasiswa muncul lagi, dimotori HMI dan KAMMI (yang mengatasnamakan BEM-SI) dengan isu utama: turunkan GusDur. Tak ketinggalan juga, gerakan mahasiswa yang dianggap radikal ala Famred, Forkot, FPPI, Front Kota, LMND, yang mengangkat isu hancurkan sisa-sisa Orde Baru. Gerakan mahasiswa kembali marak: banyak massa (ingat Pam Swakarsa) dan bentrokan, sampai dengan SI MPR dengan hasil duet Megawati-Hamzah Haz. Kemudian, aksi mereka mulai surut dan menghilang dari kancah politik dan sibuk kembali dengan Indeks Prestasi, bobot SKS, Mid/Final test, Ujian Skripsi dan sebagainya. Kini, di tahun 2013-an, stagnasi, disorientasi, disintegrasi melanda mereka. Tidak ada lagi momentum-platform bersama membuat gerakan ini terkesan surut, mandul dan bingung. 

Konteks: Globalisasi dan Gerakan Mahasiswa 
Pasang surut gerakan mahasiswa, yang termanifes dalam pebagai aksi turun ke jalannya, tampak sekali sangat-sangat bergantung pada momentum (baca: dalam rangka!). Setiap ada momentum-gerakan akan membesar, namun ketika ngga’ ada momentum-maka gerakan menyurut. Momentum memang sangat membantu mobilisasi gerakan, namun ketergantungan pada momentum cuma akan membuat gerakan menjadi manja. 

Maka, menurut saya, roda gerak sebuah gerakan haruslah meletakkan prioritas utamanya pada pembangunan basis (tidak melulu mainstream). Pelbagai aktivita dan varia (entah kesekretariatan, diskusi makro/mikro, aksi massa, propaganda) harus juga dimaknai sebagai pembangunan basis. Sehingga tidak elitis-intelektualis, tapi sungguh-sungguh populis-tanggap zaman (dan bukan gagap zaman) dan mengerti bahasa masyarakat: suka duka dan keprihatinan masyarakat. Karena jika gerakan mahasiswa elitis, maka akan sulit jika harus memobilisasi sebuah gerakan bersama. 

Dari segi lain, saya mengambil petuah orang Latino: ‘Tempus mutatur et nos mutamur in illud’ (Waktu berputar dan kita diubah olehnya). Kini, waktu ternyata tak hanya berputar, tapi juga berlari (menyitir istilah para pemikir postmodernisme). Secara jujur, kita sudah memasuki pelbagai realitas baru: kaya warna-kaya nuansa dan kaya citra. Ketika dunia kita berlari kencang tanpa kendali pasti, ketika sebagian besar masyarakat bergumul di tengah lalulintas perkelahian hidup modernitas yang penuh kebisingan dan kekejaman, kaum muda kita juga mengalami situasi tercerabut dari akar, serba terpencar, lepas dari ikatan teritorial yang tetap dan aman. 

Maka, kita perlu bicara dari konteks : Lex agendi, lex essendi, , yakni imbas globalisasi. Globalisasi telah membuat pelbagai tradisi lama yang cenderung dogmatis menjadi berguguran di mata kita. Globalisasi adalah konteks abad 21. Sebuah keterhubungan (interconnectedness) segala pelosok dunia - ketika ruang dan waktu jadi tidak penting lagi. Globalisasi adalah kekuatan yang mengubah kehidupan sosial jaman ini. Gejala globalisasi sungguh berimbas pada hidup bersama, keluarga, identitas pribadi dan juga pendidikan nilai-nilainya. Konteks globalisasi membuat kita dapat secara otonom memilih pengetahuan yang kita sukai. Dalam angin jaman globalisasi yang berhembus, saya yakin bahwa roh perubahan bekerja juga lewat daya-daya penggerak yang ada dalam diri para mahasiswa. 

Kini, di tahun 2002 - dengan budaya virtual reality – banyak anak muda NKRI yang mungkin darah dan kulitnya asli langsat duku atau sawo matang, tetapi bercelana blue jeans ala Westlife daripada berbatik ria ala priyayi. Yang sukanya jazz Incognito atau rock BonJovi daripada lagu Indonesia Raya ala WR Supratman atau Ismail Marzuki. Yang punya impian kuliah di Harvard, Cambridge, Oxford daripada di Gajahmada atau UBK misalnya. Yang lebih tahu riwayat hidup Britney Spears, Lady Di daripada R.A Kartini apalagi Cut Nyak Dhien. Tidak tepatlah rasanya mereka disebut kebarat-baratan, atau terkena amerikanisme. Lebih tepatlah, kiranya proses yang mereka sedang alami ini dilihat sebagai suatu gerak global planeter yang evolutif. Karena, sekali lagi…..saya yakin bahwa roh perubahan (sangat mungkin sekali) bekerja juga lewat dan dalam diri para mahasiswa.

Tapi, de facto, gerakan mahasiswa semakin hari semakin menujukkan kelemahan dalam merespon setiap sikon obyektif di masyarakat. Misal: ketika banyak subsidi dihapuskan, harga sembako-BBM dan listrik naik, hutang luar negeri semakin bertambah, di manakah posisi gerakan mahasiswa yang katanya selalu memperjuangkan aspirasi rakyat? Maka, kita (baca: gerakan mahasiswa) harus sudah mulai menyatu dengan sektor rakyat lainnya. Aliansi merupakan hal yang cukup urgent bagi gerakan mahasiswa untuk kembali membangun link/jaringan basis. Sektarian organisasi kampus/organ, primordial agama/suku, jargon reformasi+gerakan moral melulu semestinya mulai dikurangi. Misalnya: kelas pekerja/sektor buruh yang tergabung dalam FN-PBI-nya Dita Indah Sari (elemen yang berkontradiksi langsung dengan sistem kapitalisme) bisa menjadi pintu masuk bagi gerakan mahasiswa untuk kembali membangun kekuatan. Masuk ke basis-basis buruh dan berdiskursus, menjelaskan kepada kaum buruh tentang pelbagai persoalan ketidakadilan dan kerja, supporter melawan ketidakadilan ala Pemerintah-IMF-ADB-World Bank-dsbnya, agitasi dan pelbagai propaganda mahasiswa juga alat perjuangan yang efektif. Kedekatan gerakan mahasiswa dengan kelas pekerja/kaum marginal akan pelan-pelan menghilangkan watak borjuis kecil yang masih kerap mendominasi di setiap gerakan mahasiswa, dan dengan ini, kita mulai menumbuhkan rasa solidaritas pada rakyat. Pada hemat saya, janganlah gerakan mahasiswa sekedar menjadi koboi yang akan datang setiap ada persoalan, dan pergi ketika persoalan itu dianggap selesai, padahal persoalan rakyat tidak akan pernah selesai begitu saja. 

IV. Kaum Muda: Agen dan Garda Depan Perubahan
Jugend hat keine Tugend (anak muda tidak punya keutamaan). Demikian bunyi pepatah dari negerinya Adolf Hitler dan Steffi Graf. Sepintas saya mengiyakannya, manakala saya mengingat pelbagai fenomenum, seperti: tawuran pelajar, demo manipulatif mahasiswa, konvoi bising anak-anak yang lulus ujian, korban-korban narkoba, maraknya seks bebas, aborsi dan corat-moret grafitti. Menjengkelkan!! Tapi, saya juga kerap melihat bahwa anak-anak muda juga bisa membawa perubahan yang sangat baik bagi kehidupan bangsa. 

Saya mengamati dalam sejarah bangsa ini, anak-anak muda telah membuktikan diri dapat menjadi agen perubahan sejarah. Saya melihat pergerakan kebangkitan nasional tahun 1908 ala Budi Utomo yang dimotori kaum muda. Pergerakan tahun 1928 dengan Sumpah Pemudanya oleh para jong dari pelbagai daerah - melahirkan dictum: satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air. Pergerakan tahun 1945, ketika para pemuda secara proaktif ‘menculik‘ generasi tua (Sukarno-Hatta) ke Rengas Dengklok, supaya berani memproklamasikan negara kesatuan Republik Indonesia. Yang juga cukup nyata, adalah pergerakan mahasiswa tahun 1966. Kaum mudalah yang menjadi agen utama yang menggulingkan Orde Lama-dan melahirkan Orde Baru. Gerakan kaum muda tidak bisa dianggap remeh temeh. Ketika kaum muda bergerak, rakyat mendukungnya. Kekerasan militer dan pelbagai represi tidak dapat menghalangi laju gerakan kaum muda. Malah, saya merasa ketika Arief Rahman Hakim gugur oleh peluru pasukan Cakrabirawa, gerakan mereka makin menjadi-jadi. Setiap darah yang tertetes, jadilah ribuan raksasa. Begitu si Arief ini gugur, kekuatan mahasiswa bersama rakyat menjadi kekuatan magis yang sanggup menjungkirbalikkan kekuasaan setangguh apapun. 

Historia se repete (sejarah selalu terulang), begitulah yang terjadi dengan bangsa ini. Pergerakan mahasiswa tahun 1998 adalah buktinya. Ketika krisis menerpa, tiba-tiba teman-teman mahasiswa bergolak (Sejak Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK-BKK) oleh Mendikbud Daoed Joesoef, dua puluh tahun lamanya seakan kampus hidup dalam ketenangan). Kita melihat tanpa ada koordinasi serta strategi yang apik dan cantik, hampir semua kampus di Indonesia serempak berdemonstrasi menuntut perubahan. Keserempakan ini demikian kompak, spontan, berani dan membawa banyak perubahan yang nyata dan berarti luas. 

Bagi saya beralasanlah jika para kaum muda (mahasiswa) yang terpilih oleh sejarah untuk menjebol kemandekan. Sebab kaum muda adalah anak-anak sejarah yang paling bisa dititipi oleh sejarah untuk menentukan dan mengurus masa depan. Semangat kemudaan membuat kaum muda berpikir ke depan, bukan asyik-masyuk dengan nostalgia masa lalu. Kaum mudalah yang bisa mematahkan tirani masa lalu, membebaskan diri dari penjara tradisi menyesakkan, serta membongkar ritualisasi yang tidak relevan dengan kebutuhan zamannya. Meminjam istilah Jurgen Habermas, pembaharu Mazhab Frankfurt, bangsa kita sungguh perlu suatu rasionalitas komunikatif. Artinya bangsa yang demokratis adalah bangsa yang memberi ruang fair flay bagi proses komunikasi yang cerdas dan bebas dari segala bentuk non-demokratis. Jika itu tercapai, saya yakin generasi muda yang matang-kritis dengan pembentukan dirinya sendiri menuju ke otonomi yang mendewasa (mündigkeit) akan terwujud. 

V. Epilog: Berjalan Bersama demi Indonesia Raya 
Bila pertama-tama kita mencari tahu dulu di mana kita berada, 
serta kemana arah yang cenderung kita tempuh, 
kita akan bisa memutuskan secara lebih tepat, 
apa yang musti kita kerjakan, dan…. 
bagaimana melakukannya
(Abraham Lincoln, A House Divided) 

Menyitir paparan bapaknya Mbak Megawati bahwa “Kemerdekaan bangsaku adalah jembatan emas.” Jembatan adalah sarana untuk dilewati. Kemerdekaan Indonesia hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yaitu kemerdekaan manusia-manusia Indonesia. Bentuk-bentuk Aku-Cinta-Indonesia generasi kini pasti akan lain ekspresi dan bahasanya daripada yang dilakukan Generasi ’08, ‘28, ’45, ’66 ataupun ‘98. 

Kesadaran ini menuntut banyak hal dari kita. Saya yakin bahwa kaum muda adalah calon garda depan masyarakat dan agen perubahan budaya atau gaya hidup masyarakat yang paling efektif. Tapi, kita tetap perlu berjalan bersama rakyat. 

Berjalan berarti: 
melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, maju terus pantang mundur (bukannya mundur terus pantang maju). 
Berjalan berarti: 
melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri. (Tapi, jangan kaki kiri menjegal kaki kanan, nanti kesrimpet dan jatuh sendiri). 
Berjalan berarti: 
melangkah kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, memandang ke depan, perkecil menengok kebelakang (apalagi jalan di tempat, terlebih lagi berhenti). 
Berjalan berarti:
melangkah kaki ke depan; satu-dua, kanan-kiri akan lebih indah jika tak jalan sendiri (nanti bisa ‘ngos’). 

Lebih baik, berjalan bersama apalagi bergandengan tangan (supaya bisa ‘joss’): bergandengan pikir, bergandengan hati, menyatukan visi, misi dan mimpi demi satu negeri pertiwi. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Seperti teriakan yel-yel orang muda yang antusias berlomba bakiak ketika pesta agustus-an di RT/RW: 
”Kanan, kiri, kanan-kiri, kanan kiri: 
(Kembalikan kepercayaan diri-satukan kembali nurani). 
Kanan, kiri, kanan-kiri, kanan kiri: 
(Tautkan tekad di hati-eratkan persatuan negeri). 
kanan, kiri, kanan-kiri, kanan kiri: 
(semoga semangat sambung menyambung menjadi satu bangkit lagi, bersama kaum muda).

0 komentar:

Posting Komentar