I
Ada pertanyaan klasik yang selalu mengganggu orang-orang yang concern dalam bidang sastra yang kadang juga sering terasa menyakitkan: mengapa dunia sastra (terutama di Indonesia) nampak sebagai dunia yang terpencil dan sering di abaikan? Mengapa ia seolah-olah nampak sebagai mahluq yang " la yamutu wa la yahya" (tidak mati tetapi tidak nampak sebagai mahluq yang "giras")?
Keadaan seperti ini, mengutip Gunawan Muhammad dalam esei "Dengan Minoritas Yang Tak Tepermanai"_ , nampaknya tidak hanya berlaku bagi dunia sastra, tetapi juga terjadi pada dunia seni rupa, seni pertunjukan, seni musik, dan dunia seni lainya.
Ada pertanyaan klasik yang selalu mengganggu orang-orang yang concern dalam bidang sastra yang kadang juga sering terasa menyakitkan: mengapa dunia sastra (terutama di Indonesia) nampak sebagai dunia yang terpencil dan sering di abaikan? Mengapa ia seolah-olah nampak sebagai mahluq yang " la yamutu wa la yahya" (tidak mati tetapi tidak nampak sebagai mahluq yang "giras")?
Keadaan seperti ini, mengutip Gunawan Muhammad dalam esei "Dengan Minoritas Yang Tak Tepermanai"_ , nampaknya tidak hanya berlaku bagi dunia sastra, tetapi juga terjadi pada dunia seni rupa, seni pertunjukan, seni musik, dan dunia seni lainya.
Saya sendiri, sebagai orang yang juga concern dalam dunia sastra dan seni, setuju dengan uraian yang di berikan Gunawan Muhammad tersebut. Tetapi ada sesuatu yang bagi saya kurang, dan karena itu membuat saya sedikit kurang puas dengan uraian Gunawan Muhammad.
Jika karya sastra dan seni, yang dianggap sebagai ekpresi dari persepsi dan impresi estetik, bertugas menjelaskan apa yang ada dalam diri manusia dan alam secara universal di sepanjang waktu dan di semua tempat (pandangan Aristoteles), merupakan cermin realitas sekaligus rekaman cita masyarakat (pandangan William Philip)_, dan juga merupakan sarana manusia untuk sadar diri (pandangan seni Marxis), mengapa dunia sastra dan seni tetap saja merupakan dunia yang terpencil dan diabaikan? Mengapa ia seakan-akan nampak sebagai dunia yang tidak berhubungan dengan orang banyak (setidaknya di Indonesia)? Apakah ada sesuatu yang "tidak beres" dalam karya sastra dan karya seni sehingga membuat keadaannya menjadi demikian?
Tulisan singkat ini, tanpa pretensi yang muluk-muluk, mencoba ikut menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat pada karya itu sendiri.
II
Nietzsche, seorang seniman, filsuf dan "orang gila" itu, sekali waktu pernah berucap "Tidak seorang pun seniman dapat menerima kenyataan". Dan karena tidak dapat menerima kenyataan, sang seniman lantas menciptakan kenyataan lain, kenyataan yang diinginkan dan diharapkannya, yang menurutnya lebih indah, lebih berbentuk, lebih bermakna: maka lahirlah karya sastra dan karya seni.
Namun, karya sastra dan seni, bagaimanapun, adalah sesuatu yang diciptakan. Ia lahir dari keinginan dan "khayalan". Dan karena itu ia tak sepenuhnya di-"kuasai" dan di-"miliki".
` Hal inilah yang menurut saya menyebabkan mengapa seniman, mengutip William Faulkner, "gagal mencapai impian mengenai karya yang sempurna, karena itu rata-rata kita (baca: seniman) berada dalam kegagalan indah untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin terjangkau".
Maka, bagi seniman, karya adalah merupakan sesuatu yang akrab dan asing. Ia akrab karena dalam karya itulah segala sesuatu yang di-inginkan (juga yang ditolak) sang seniman mendapatkan bentuknya. Dengan karya-karyanya sang seniman merasa terpenuhi harapan-harapannya. Dan dalam karya-karyanya, sang seniman dapat melihat (dan merasakan) dunia lain: sebuah dunia dimana totalitas didapati, sebuah dunia dimana segala hal menemukan maknanya, dan karena itu jadi "indah". Maka tidak heran jika kemudian Stanislas Fumet, seorang kritikus Katolik, mengatakan "Seni (novel, puisi, teater,dan lukisan), apapun tujuannya, dengan perasaan bersalah mencoba bersaing dengan Tuhan". Pernyataan ini mendapatkan penegasan dari Thibaudet ketika ia berbicara tentang La Comedie Humaine (Komedi Manusia) karya Honore de Balzac. La Comedie Humaine yang terdiri dari 100 novel / cerpen dan 50 tulisan lain disebut Thibaudet sebagai "Tiruan dari Tuhan Bapa". Dari sini dapat dilihat mengapa karya adalah segalanya bagi seniman. Karya adalah ekspresi dari apa yang dirasakan, dipahami, dan diinginkan oleh sang seniman.
Namun, seperti dikatakan diatas, selain akrab, karya seni bagi sang seniman juga merupakan sesuatu yang asing. Ia asing karena ternyata dunia lain seperti yang terdapat dalam karya seni sama sekali tidak dapat dijalani. Apa yang sang seniman rasakan, pahami, dan inginkan--sebagaimana tercermin dalam karya seni--tidak dapat ia capai. Sang seniman tetap saja hidup dalam dunia yang tidak dapat diterimanya, dunia "dariTuhan" yang coba ia saingi dengan karya seni ciptaannya. Karena itulah, Albert Camus, dalam tanggapannya terhadap pernyataan Nietzsche diatas, mengatakan " Tetapi juga tidak seorang pun seniman dapat hidup diluar kenyataan (dunia "dari Tuhan). Kreasi seni adalah kehendak dan suatu penolakan terhadap dunia"_.
Sang seniman, walaupun dapat menciptakan dunia yang baru, "yang indah", tapi ternyata tetap tak dapat lepas dari dunia yang lama, dunianya yang asli. Dengan demikian karya seni, dunia yang "lain" itu, tetap menjadi sesuatu yang asing.
Keadaan seperti ini, bahwa karya seni merupakan sesuatu yang akrab dan asing, nampaknya bukan hanya berlaku bagi sang seniman saja. Kalangan penikmat/ pembaca karya seni ternyata juga mengalami hal yang kurang lebih sama dengan yang dialami sang seniman.
Seorang teman, setelah membaca "Romeo & Juliet" karya William Shakespeare, pernah mengatakan bahwa " Seandainya saja pacar saya mempunyai kesetiaan yang sama dengan kesetiaan Juliet, tentu saya akan sangat bahagia ".
Dari pernyataan ini, kita dapat melihat bahwa teman saya tersebut, sadar atau tidaksadar, mengakui adanya dunia lain yang berbeda dengan dunianya sendiri, walaupun dunia lain tersebut hanya dalam sebuah karya seni (drama "Romeo & Juliet"). Dari pernyataan itu juga dapat dilihat bahwa dunia lain itu begitu akrab dengan teman saya, karena dalam karya itu ia merasa apa yang ia inginkan, harapkan, dan "khayalkan" mendapatkan bentuknya.
Namun, kita juga dapat melihat bahwa selain akrab, dunia lain itu ternyata asing bagi teman saya karena ia tahu bahwa pacarnya bukanlah si Juliet dan ia bukanlah si Romeo. Bahwa kesetiaan semacam itu hanya dapat di temui dalam "dunia lain" (karya seni) tersebut. Dan bahwa sekarang ia hidup dalam dunianya sendiri dan ternyata pacarnya tidak setia.
Contoh lain dari hal semacam ini, bahwa karya seni merupakan sesuatu yang akrab dan asing, juga dapat dilihat dari apa yang diungkapkan Albert Camus ketika membicarakan masalah novel. Albert Camus mengungkapkan bahwa pada masa sebelum dia, orang-orang masih terbiasa mengatakan bahwa gadis-gadis muda bagaikan "gadis-gadis dalam novel"_. Dengan mengatakan hal tersebut, orang-orang mengerti bahwa gadis gadis dalam dunia novel tidak hidup berdasarkan kenyataan yang ada dalam dunia nyata. Secara umum, dunia novel dianggap terpisah dari dunia yang nyata. Dan bahwa dunia/ realitas novel, dalam memperindah dunia nyata, ternyata juga menghianatinya.
Jika demikian, jika dalam sesuatu yang "akrab" dengan kita juga kita temukan sesuatu yang "asing", jika dalam sesuatu yang "indah" juga kita temukan sesuatu yang "menyakitkan", lantas bagaimana sebenarnya karya seni berbicara kapada kita? Kepada masyarakat? Apa yang diberikan karya seni kepada kita? Bagaimana seharusnya kita (masyarakat) menyikapi karya seni?
Hal inilah yang, menurut saya, merupakan salah satu sebab mengapa dunia sastra dan seni tetap merupakan dunia yang seakan-akan "La yamutu wa la yahya", kembang-kempis tak menentu.
0 komentar:
Posting Komentar