"
Bermainlah dengan permainan, tetapi jangan
main-mainMainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh.
Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya,
Sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.
Mainlah dengen eros, tetapi janganlah mau dipermainkan eros.
Mainlah dengan agon, tetapi jangan mau dipermaikan agon.
Barangsiapa mjmpermaikan permainan, akan menjadi permainan permainan.
Bermainlan untuk bahagia, tetapi jangan mempermaikan bahagia1"
N. Drijarkara (1913-1967)1
I
Kutipan di atas sepintas seperti hanya tak lebih dari sebuah permainan kata. Namun jika sejenak direnungkan, permainan kata tentang permainan itu nampak menguraikan suatu resiko mempermainkan permainan: bermain itu perlu, tetapi jangan coba-coba main-main dengannya jika tak mau dipermainkan olehnya.
Kendati bertolalak dari hal yang remeh: permainan, permainan kata tersebut adalah filsafat, bukan karena karena pernyataannya yang main-main, tetapi karena argumennya yang tidak main-main. Filsafat merupakan "ilmu argumentatif". Dalam diskursus filsafat, menggunakan dialektika-nya Hegel, menawarkan sebuah argumen sebagai tesis (pernyataan) berarti sekaligus menantang menculnya argumen lain sebagai antitesis (penyangkalan) yang lebih kuat, sehingga darinya lahir agmen baru yang menjadi sintesis (kesimpulan).
Dalam pengertiannya yang sederhana, berfilsafat berarti berusaha mencintai dan mengakrabi kebijaksanaan. Bukan dalam arti bahwa kebijaksanaan itu telah dimiliki, melainkan bahwa ia dicari. Maka filsafat bukanlah sebuah keadaan, melainkan sebuah gerakan: meninggalkan yang tidak bijaksana dan menuju ke yang bijaksana.2
Dahulu, 2500 tahun yang lalu, hanya ada satu ilmu pengetahunan yaitu fisafat. Segala masalah yang dipertanyakan dikaji dan dibahas dalam fisafat. Di sekolah yang dikembangakna Aristoteles, Lyceum, para filosof meneliti segala macam hal yang dewasa ini masuk dalam bidang fisika, ilmu bumi, ilmu hayat, kedokteran, sosiologi, dan psikologi. Fisafat saat itu betul-betul merupakan ilmu universal.3
Akan tetapi memudian pelbagai bidang pengetahuan manusia itu satu demi satu membebaskan diri dari kungkungan filsafat, meninggalkan dan memapankan diri sebagai ilmu dengan kesibukannya sencara mandiri. Yang pertama adalah ilmu kedokteran yang sudah lepas sejak permulaan tahun masehi. Pada abad XIII sebagai akibat masukknya pemikiran Aristoteles berkat filsafat Islam, teologi memisahkan diri dari filsafat. Ilmu-ilmu empiris (ilmu-ilmu alam di antaranya kimia, fisika, ilmu hayat) lepas menginggalkan filsafat pada permulaan zaman modern di abad XVII. Ilmu ekonomi menyusul pada abad XVIII dan disusul psikologi, sosiologi, dan ilmu hukun pada abad XIX. Pada akhir abad XIX tinggal fisafat sediri.4
II
Proses lepasnya ilmu dari fisafat merupakan proses alamiah sebagai konsekuensi logis dari berkembangnyanya ilmu-ilmu . Ilmu-ilmu bersifat analitik-pragmentaris, yakni berkutat pada objek tertentu dan hanya berorientasi pada objek kajiannya secara konsisten.
Filsafat ditinggalkan karena tidak masuk pada ilmu-ilmu (baca: ilmu-ilmu khusus). Filsafat berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan paling fundamental yang berada di luar jangkauan ilmu-ilmu. Secara sederhana, jika ilmu dapat disebut sebagai "teks" maka fisafat adalah "konteks". Ilmu yang berada di luar konteks itu akan menjumpai dasar konteksnya pada filsafat. Proses teks menuju konteks adalah proses "tidak dimengerti" menuju "dimengerti".
Dengan kata lain, ilmu sebagai teks dapat "dimengerti" (dikritik?) berkat atau dengan filsafat karena filsafat menyajikan sekaligus mempertanyakan konteksnya. Karena itu pula fisafat dapat berbicara tentang hal-hal yang tidak dijamah oleh ilmu, disebabkan semakin mengkhususnya objek kajian ilmu itu. Konsekuensinya, ilmu semakin berkompeten dalam hal yang berkaitan dengannya, tetapi sekaligus juga semakin membatasi dan mempersempit kompetensinya tentang hal lain di luar pembicaraannya. Yang tidak dijamah ilmu itulah menjadi kompetensi filsafat karena selain memiliki metodologi, fisafat juga mendukung ilmu secara keseluruhan dan berbicara secara inter-subjektif. Bidang filsafat, sebagai ilmu "lintas ilmu" adalah masalah-masalah yang tidak terletak dalam kompetensi ilmu-ilmu.5
Namun tetap harus diakui juga bahwa ilmu, yang bersifat analitik-pragmentaris itu, memberikan banyak sumbangan yang signifikan dalam memperkaya diskursus filsafat. Maka, ilmu dan filsafat saling memberi dan melengkapi diskursunya masing-masing secara komprehensif: ilmu dikontekskan filsafat dan (akibatnya) filsafat melahirkan teks baru, seperti lahirnya cabang-cabang baru dalam filsafat, sebagai ilmu pragmentaris; ilmu dalam pengertian sebagai usaha untuk memastikan, menata, dan mengembangkan pengetahuannya secara objektif dan sistimatis.
Bertolak dari pengertian ilmu di atas, maka filsafat sebenarnya juga termasuk ilmu karena filsafat pun sebuah usaha untuk memastikan, menata, dan mengembangkan pengetahuannya secara objektif dan sistematis. Oleh karenanya, klaim fiksafat sebagai ilmu universal atau induk segala ilmu mesti tidak dinilai lagi secara berlebihan mengingat kenyataan adanya ketersalingan (memberi dan melengkapi diskursus masing-masing) antara ilmu-ilmu (khusus) dan filsafat sebagai ilmu.6
III
Seorang ilmuan asal Swiss, Jean Piaget, pernah di tahun 60-an, membagi ilmu pengetahuan atas (1) ilmu pengetahuan formal (mencakup matematikan dan logika simbolik), (2) ilmu pengetahuan alam, dan (3) ilmu pengetahuan kemanusiaan (ilmu pengetahuan kognitif). Dalam The MIT Encyclopedia of the Cognitiv Sciences (disunting oleh Robert A. Wilson dan Frank C Keil, 1999) disebutkan bahwa ilmu pengetahuan kognitif adalah ilmu tentang akal budi dan proses mental manusia. Ensiklopedia itu mencakup enam bidang ilmu pengetahuan kognitif yaitu (1) computational intelligence, (2) culture, cognition and evolution, (3) linguistics and languange, (4) neurosciece, (5) philosophy, dan (6) psychology.7
Bahasa dan filsafat, seperti disebutkan di atas, merupakan bagian dari ilmu pengetahuan kognitif karena keduanya mengandaikan tindak akal budi dan proses mental manusia. Bahasa adalah sebuah sistem tanda (simbol dan bunyi) dan sistem makna yang secara arbitrer dipergunakan oleh anggota kelompok sosial untuk berkomunikasi, bekeja sama, dan mengidentifikasi diri. Pertanyaan fundamental filsafat tentang "apa yang dapat kita katakan?" tentu mengandaikan bahasa, karena bahasa merupakan sarana (refleksi) pikiran. Bahasa adalah simbol fakta, yang menurut tokoh filsafat bahasa, Wittgenstein, harus saling berhubungan antara simbol dan fakta yang disimbolkannya.8
Filsafat bahasa, yang baru lepas landas sebagai ilmu dalam abad ini, berfungsi penting dalam menjelaskan hubungan antara berpikir dan berbicara, antara fungsi ekspresif dan representasi bahasa, kondisi-kondisi psikofisik dari ucapan, dan menjelaskan peranan individu dan komunitas dalam perkembangan sebuah bahasa.9 Filsafat bahasa dengan demikian secara mendalam mempengaruhi ontologi, epistemologi, dan etika. Tidak mungkin pertanyaan-pertanyaan fundamental filsafat (apa yang ada, apa yang diketahui, dan apa yang wajib bagi manusia) secara langsung terrefleksi. Manusia juga harus selalu merefleksikan bahasa yang diungkapkannya, memastikan arti kata-kata dan kalimat-kalimat yang dipergunakan.10
Sastra lahir setelah bahasa ada. Sastra tumbuh dari daya dan rasa estetis manusia pada bahsa. Sastra berkembang dengan penciptaan dan ungkapan ekspresif yang didominasi perasaan (feeling), imajinasi, dan pengalaman manusia. Dengan demikian, sastra adalah seni, yakini seni estetika bahasa dan permainan kata. Seni itu permainan yang tujuannya adalah permainan itu sendiri: kebebasan yang lepas dari kewajiban.11Agar terbebas dari beban untuk memberikan ketentraman, memberikan makna dan harapan, seni harus memanfaatkan makna, meminjam istilah Albert Camus, absurditas; mencipta tanpa rambu-rambu ideologis. Itulah yang dilakukan oleh penulis-penulis terbesar, oleh Dostoievsky, Melville, Kafka, dan Malraux.12
Sastra memang adalah dunia imajinas dan fiksi. "Modus pemikiran" dalam isi (matter) sastra dapat sangat ilusif, fiktif, fantastik, magis-mistik, bahkan bual.13 Namun, tidak ada karya sastra yang paling imajiner manapun yang sanggup memiliki wilayah otonomi mutlak, subyektif, dan tak ada sangkut pautnya apa pun dengan individu atau kalangan tertentu. Setiap karya sastra ditulis oleh seseorang manusia pada suatu masa, dalam sejarah, di suatu tempat di dunia ini juga.14
Sastra, dalam kata-kata Adolfo Sanchez Vazquez, lahir dalam ke-kini-an dan ke-di sini-an yang konkret. Sebagai salah satu bentuk karya seni, menurut Antonio Gramsci, sastra bukanlah produk dirinya sendiri, tetapi merupakan produk sejarah.15 Sebagai sebuah produk sejarah, sastra diciptakan oleh manusia. Ia adalah sesuatu yang dikreasikan sebagai kebudayaan, bukan ada dengan sendirinya.
Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, secara praktis dan toritis, sastra selalu bergantung pada tiga unsur, yang satu sama lain saling menunjang, yaitu: konsep, performan, dan publikasi. Dalam unsur konsep, sastra berurusan dengan alasan-alasan rasional dan dasar pertanggungjawaban konseptual dari suaut karya; performan sastra adalah pada daya estetiknya; sedangkan publikasi merupakan upaya sosialisasi dalam rangka mengkomunikasikan karya sastra kepada publik. Filsafat dapat saja berperan memberikan konsep-konsep kritis terhadap ketiga unsur di atas, namun lebih relevan apabila ia hanya menekankan unsur pertama (konseptual).16
IV
Secara teoritis, sastra dan filsafat dapat dibedakan dalam tiga hal. Pertama, pokok permasalahan (subject matter) yang dikaji oleh keduanya. Sastra berkonsentrasi pada (suatu) subjek (subjectivity), sedangkan filsafat menguraikan struktur-struktur objektif (objective structures) suatu masalah (=lintas subjek). Kedua, pada metode (methods). Sastra bekerja dengan metode inspiratif, imajinatif, pengalaman, dan 'bawah sadar" (unconscious), sementara filsafat berupaya dengan mengaktualisasikan (tindak) akal budi atau penalaran (act of reason). Dan ketiga, pada pengaruh (effects). Sastra menimbulkan pemenuhan emosional (emotional fulfilment), sedangkan filsafat menciptakan pengetahuan (knowledge).17
Kendati pokok permasalahan yang diupayakan oleh sastra dan filsafat berbeda, namun keduanya dapat saja memiliki pengaruh yang sama: menciptakan pemahaman (understanding). Sastra melahirkan pemahaman atas perasaan (feeling), filsafat memunculkan pemahaman atas fakta (fact). Atau juga, dengan metode dan pendekatannya masing-masing, demikian menurut Thomas Aquinas, sastra dan filsafat dapat menguraikan dan menyoroti masalah yang sama: filsafat mengkomunikasikan kebenaran (truth) suatu hal dalam bentuk simbolik, sementara sastra menginspirasikan perasaan (feeling) hal tersebut lewat bahasa kiasan.18
Perbincangan tentang problem-problem filsafat dan isi teks-teks sastra dalam karya para sastrawan yang mengekspresikan pemikiran filosofis, seperti problem kebebasan kehendak dan teodise (keadilan/pembenaran Tuhan) dalam karya Fyodor Dostoievsky: The Brothers Karamazov, diidentifikasi, diuji, dan dievaluasi oleh filosof. Tetapi juga, tak jarang filosof menuangkan pemikiran filosofisnya lewat karya sastra. Sastra, sebagaimana pendapat Sartre, menjadi corong filsafat.19
Sebagian besar karya (sastra) filosofis para pemikir seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Soren Kierkegaard, Friedrich Nietszche, dan lainnya berkisar masalah eksistensi manusia, yang kelak dikenal dengan eksistensialisme. Buah pikiran Camus yang terkenal dan banyak mendapat perhatian para kritikus adalah tentang absurditas, yaitu perasaan tidak memiliki pengharapan dalam kehidupan dan perasaan terasing dalam lingkungan. Tetapi Camus bukanlah penemu absurditas. Absurditas adalah suatu intuisi yang telah muncul lama. Nietzsche telah mengenali intuisi itu, sebelum Kierkegaard, Husserl, dan Jaspers.20
Dalam esai Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus), Camus, demikian menurut Justin O'Brien, mengungkapkan inti pembicaraannya:
"…adalah dibenarkan dan perlu untuk memikirkan adakah kehidupan ini memiliki arti. Karena itu, dibenarkan pula untuk mengkaji masalah bunuh diri secara langsung. Jawabannya secara tersirat dan tersurat melalui situasi yang paradoks adalah bahwa meskipun sekiranya seseorang itu tidak percaya kepada Tuhan, bunuh diri itu tidaklah dibenarkan."21
Le Mythe de Sisyphe ditulis oleh Camus saat Perang Dunia II mencapai titik balik. Kehancuran dan kekejaman dalam perang itu membuahkan ketidakpastian dalam hidup manusia serta keraguan terhadap norma-norma sosial, hukum, agama, dan negara. Manusia merasa kehilangan makna kehidupan, kehilangan komunikasi dengan masyarakat dan institusi masyarakat di sekelilingnya. Inilah perasaan yang disebut oleh Camus sebagai perasaan absurditas.
Itulah konteks konkret pergulatan Camus yang mendapat pijakan refleksinya dari legenda Yunani: karena meremehkan para dewa, telah memberi air kepada manusia dan memasung Dewa Kematian, Sisifus dihukum oleh para dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, untuk setiap saat melihat batu itu meluncur kembali setelah sampai di puncak ketinggian. Absurditas adalah hukuman tak terperikan yang harus diderita oleh Sisifus.
V
Untuk menyebut beberapa karya filsafat yan gsastrawi (sastra filosofis?), karya Nietszche adalah salah stu yang patut tidak luput untuk disebutkan. Dalam Alsc Sprach Zarathustra (Thus Spoke Zarathustra), Nietszche menulis:
"Never yet have I found the woman by whom I should like to have children, unless it be this woman whom I love: for I love thee, O eternity. For I love thee, O eternity!"22
("Belum pernah aku berjumpa dengan seorang wanita yang darinya kuharapkan melahirkan anak, selain wanita (kekekalan) ini yang kucintai: karena kucinta padamu wahai kekekalan. Karena kucinta padamu, wahai kekekalan!")
Kutipan di atas merupakan akhir dari setiap bait dari The Seven Seals (Tujuh Meterai) yang merupakan bagian ketiga dari buku Alsc Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zoroaster). Aku mencintai kekekalan! Inilah refrain yang mengakhiri bait-bait Zarathustra yang sedang mengupas ajaran rahasia tentang kekekalan. Cinta akan kekekalan merupakan puncak dari ajaran Nietszche setelah ajarannyaa tentang Ubermensch (manusia super). Ia bebitu tergila-gila dengan kekekalan, sehingga secara metaforis mengatakan bahwa kekekalan adalah wanita idaman yang hendak dikawininya, yang darinya diharapkan melahirkan anak.23
Sepintas kutipan itu seperti syair, dan memang Nietszche menyebutnya demikian, sebagai "kidung ya dan amin". Namun, intensinya menulis "Demikianlah Sabda Zoroaster" bukanlah pada karya sastra yang estetis, tapi pada sebuah tesis filsafat:24 ajaran tentang kekekalan, yakni kembalinya segala sesuatu (the eternal recurrence of the same). Bagi Nietszche, segala sesuat di dunia bergerak dan berkembang dari kekuatannya sendiri. Tak ada permulaan, tak ada akhir, dan tak ada kebebasan. Semuanya akhirnya terdeterminasi. Karena itu, tak mungkin hanya ada kemajuan. Akhirnya, semuanya harus runtuh dan hancur dan seluruhnya dimulai lagi. Gerak alam semesta dalam waktu bagaikan sebuah roda raksasa. Garis dan gerak itu tidak lurus, melainkan berlingkar sempurna. Kita naik dan kita turun dan kemudian semuanya akan kembali, persis sama dengan yang sekarang.25
Alsc Sprach Zarathustra adalah karya filsafat yang sastrawi. Filsafat yang ditawarkan Nietszche hendak membebaskan diri dari struktur-struktur objektif gaya khas filsafat, menuju estetika sastra yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenagan memang khas dimiliki seni, termasuk sastra, karena ia adalah permainan yang indah dan penuh kegembiraan. Permainan bertujuan pada kesungguhan permainan, yaitu ketidaksungguhannya. Mungkin jika filsafat bersabda dan menyerukan manusia agar bermain-main tetapi menghindar dipermainkan permainan, sastra pun akan bersajak, "…Aku tidak bisa menulis puisi lagi, …sejak keindahan punah dari bumi."26
Bumi masih ada tetapi Tuhan telah tiada, mati dibunuh Nietszche. Padahal Dia yang menciptakan dunia. Manusialah yang telah membuat dunia lebih indah, sekaligus absurd. Kendatipun jika Nietszche gagal menyingkirkan Tuhan dan ternyata Tuhan masih ada, apakah manusia akan tetap bagga karena menjadi saingan Tuhan, seperti Sisifus bahagia dihukum para dewa? ***
CATATAN:
1N. Driyarkara, Bunga Rampai Mengenang Prof. Dr. Driyarkara, SJ dan Pemikiran Filosofisnya, (Jakarta: Seksi Publikasi Sema Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1988), hal. (sampul) belakang.
2 Franz Magnis Suseno, Pengantar ke Alam Filsafat, (Diktat kuliah "Dasar-dasar Filsafat", STF Driyarkara Jakarta, 1999), hal. 2.
3 Ibid., hal. 6.
4Ibid., hal. 7.
5 Ibid., hal. 8.
6 Bahkan Jorge Luis Borges pernah berujar bahwa filsafat adalah "anak kandung" sastra (?). Lih. Jorge Luis Borges, Labirin Impian, terj. Hasif Amini (Yogyakarta: LKIS, 1999).
7 Harimurti Kridalaksana, "Masalah Klasifikasi Ilmu Perguruan Tinggi Kita", dalam HU Kompas, 27 Agustus 1999, hal. 4. Bdk. Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of Phylosophy, (Cambridge: Cambridge UP, 1995), hal. 128-132.
8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal 121. Tetapi kemudian Wittgenstein mengangkat konsep atau teori "permainan bahasa." Menurutnya, bahasa terlalu kaya jika hanya untuk dirujuk kepada fakta saja.
9 Ibid, hal. 116.
10 Franz Magnis Suseno, op.cit.,hal. 5.
11 Dengan demikian kata-kata Drijarkara pada kutipan di awal ini dapat pula disebut sastra.
12 Bertrand Poirot-Delpech, "Daya Tarik Kejujuran", (pengantar) dalam Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas, terj. Apsanti D (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. xiii-xiv.
13 Selain sastra imajinatif (sastra rekaan), ada juga sastra non-imajinatif (sastra bukan rekaan). Kategori sastra non-imajinatif adalah esai, kritik, biografi, memoar, catatan harian, dan sejarah. Lihat Jacob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 25-47.
14 Ariel Heryanto, "Sastra, Sejarah, dan Sejarah Sastra", dalam Andy Zoeltom (ed), Budaya Sastra, (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 49. Ariel mengkritik tentang aturan baca oleh pengarang dalam sebuah pros lirik berjudul Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG, 1981). Pada halaman iv, Linus menyebutkan "…karya ini karya imajiner, tak ada sangkut pautnya dengan individu manapun atau kalangan tertentu lain." Kritik Ariel adalah: bagaimana mungkin dapat mempercayai aturan itu itu jika beberapa nama yang disebut-sebut di dalamnya sangat jelas bersangkut paut dengan dunia nyata, yang antara lain: Wonosari, Gunungkidul, Pulau Jawa, Jumat Wage, Katolik, G-30-S/PKI, Puskesmas, manunggaling kawula lan Gusti, dll. Ibid., hal 31-34. Atau, lihat majalah Basis, No. 5/XXXII/Mei 1983.
15 Leonardo Salamini, The Sociology of Political Praxis: An Introduction to Gramsci's Theory, (London: Routledge & Kegan Paul, 1981), hal. 205.
16 Bdk. Tommy F. Awuy, Cara Pandang Filsafat atas Seni, (Makalah diskusi "Dialog Seni dengan Ilmu-ilmu Humaniora" di Taman Ismail Marzuki, 24 September 1998), hal 1-2.
17 Robert Audi, op.cit., hal 591.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 Bertrand Poirot-Delpech, op.cit., hal. xii. Lihat juga Sindhunata dan A. Sudiardja, "La Peste: Suatu Penampilan Absurditas dan Pemberontakan Camus", dalam M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional, (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 15-31.
21 Albert Camus, The Myth of Sisyphus and Other Essays, terj. Justin O'Brien (New York: Random House, 1955), hal. v. Lihat juga Bertrang Poirot-Delpech, op. cit., hal xii.
22 Friedrich Nietszche, Thus Spoke Zarathustra, terj. Thomas Common, (London: George Allen & Unwin, 1967), hal. 272-275.
23 St. Sunardi, Nietszhe, (Yogyakarta: LKIS, 1996), hal. 107.
24 Bdk. Seno Gumira Ajidarma, Sastra dan Filsafat: Obrolan Sambil Lalu, (Makalah diskusi "Sastra dan Fulsafat" di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 25 September 1999), hal. 4.
25 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 199-200.
26 Subagio Sastowardoyo, Dan Kematian Makin Akrab, (Jakarta: Grasindo, 1995), hal. 98.
0 komentar:
Posting Komentar