Mengenal Pemikiran Teologi Pembebasan Gustavo
Gutierrez
Bersama Curt Cadorrete
Abstrak:
Teologi pembebasan adalah teologi yang bertitik tolak pada pengalaman. Dalam konteks, Amerika latin, khususnya Peru, pengalaman yang menjadi dasar refleksi adalah pengalaman hidup kaum papa yang mengalami penindasan. Di tengah masyarakat yang beratmosfer penindasan, gereja sebagai komunitas umat beriman kepada Kristus harus berani mengambil posisi bersama orang miskin. Pemihakan tersebut didasarkan pada visi Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus sendiri. Yesus bukan hanya mewartakan tapi Dia sendirilah bukti adanya harapan karena di dalam Kristus dan kepadaNyalah sejarah keselamatan sejarah umat manusia mengarah.
Bersama Curt Cadorrete
Abstrak:
Teologi pembebasan adalah teologi yang bertitik tolak pada pengalaman. Dalam konteks, Amerika latin, khususnya Peru, pengalaman yang menjadi dasar refleksi adalah pengalaman hidup kaum papa yang mengalami penindasan. Di tengah masyarakat yang beratmosfer penindasan, gereja sebagai komunitas umat beriman kepada Kristus harus berani mengambil posisi bersama orang miskin. Pemihakan tersebut didasarkan pada visi Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus sendiri. Yesus bukan hanya mewartakan tapi Dia sendirilah bukti adanya harapan karena di dalam Kristus dan kepadaNyalah sejarah keselamatan sejarah umat manusia mengarah.
Pendahuluan.
Dalam sebuah wawancara, Gutierrez menegaskan bahwa di mana masih ada orang miskin, teologi pembebasan tetaplah relevan. Teologi pembebasan Gutierrez bukanlah satu-satunya teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin . Munculnya teologi pembebasan tidaklah secara tiba-tiba namun didahului dengan berbagai proses yang bertahap.
Teologi Gutierrez adalah teologi pengalaman. Dikatakan demikian karena teologi ini didasarkan pada refleksinya atas pengalamannya dan juga pengalaman orang miskin. Pengalaman tersebut hasil perjalanan panjang nan berliku sebagai anggota komunitas umat beriman di dalam sebuah sistem yang menindas. Teologi pengalaman dikembangkan oleh Gutierrez karena ia tidak melihat lagi bahwa teologi merupakan sebuah perangkat kebenaran yang tidak berubah, melainkan sebagai sebuah refleksi atas pengalaman penghayatan injil komunitas kristiani. Refleksi ini bersifat eksperiensial namun diungkapkan dengan pendekatan rasional yang meyakinkan. Gutierrez sendiri sungguh-sungguh merenungkan dua simbol utama iman kristiani yaitu Yesus dan komunitas umat beriman yang dinamakan Gereja.
Pribadi serta pesan Yesus dan gereja tidak dapat dilepaskan satu sama lain. Keduanya menyatu dalam mewartakan kerajaan Allah. Seperti Yesus sendiri, umat kristiani menginkarnasikan diri sebagai sebuah simbol pemberian hidup di dalam sejarah. Gereja mewartakan kemungkinan keselamatan meskipun ada dosa dan penindasan. Komunitas kristiani harus berani mewartakan bahwa kita tidak menyerah lagi pada kuk perbudakan melainkan hidup secara bebas dan menciptakan sejarah sesuai dengan visi kebebasan Kristus. Jelas bahwa pewartaan ini merupakan tanda perlawanan historis yang menolak penindasan dan mengumandangkan simbol Kerajaan Allah yang utopis .
Gutierrez melihat bahwa baik Yesus maupun komunitas kristiani merupakan dua realitas. Dengan demikian keduanya harus dimengerti dari arti sejarah kolektif kita, sekarang dan di sini. Agar kita memahami pentingnya Yesus dan komunitas Kristen, Gutierrez merasa bahwa kita perlu memperbaharui pemahaman kita mengenai sejarah. Kita harus menyadari bahwa kita bertanggung jawab untuk membentuknya. Sekali kesadaran kita ini berakar, pemahaman kita mengenai Yesus dan pemahaman diri kita sebagai umat kristiani memperoleh dimensi baru. Kita melihat diri kita sebagai co-creator sejarah daripada sebagai pengamat. Gutierrez menggambarkan dinamika proses sekularisasi sebagai berikut:... dari pandangan kosmologis bergerak ke arah visi antrophologis....manusia menerima diri sebagai subjek yang kreatif dan menjadi sadar bahwa ia adalah seorang pelaku sejarah dan bertanggung jawab atas nasibnya. Pikirannya tidak hanya menemukan hukum kodrat, tetapi juga hukum masyarakat, sejarah dan psikologi. Pengertian diri manusia yang baru ini memunculkan sebuah cara yang berbeda dalam memahami relasinya dengan Allah.
Yesus dan Praksis Pembebasan
Gutierrez telah menggunakan begitu banyak waktu bersama orang miskin. Ia melihat bahwa banyak orang tidak mampu memahami kompleksitas dan kesulitan dalam proses ini. Dengan penindasan yang terjadi di Peru, Ia melihat bahwa realitas keberdosaan bukalah kata akhir dari Gutierrez. Kata akhir adalah milik Yesus yang dengan sabda tentang Kerajaan Allah dan kebangkitan menunjukkan jalan keluar dari kebuntuan karena penindasan. Bagai Gutierrez, Yesus memberikan sebuah relasi antara perjuangan historis kaum miskin dengan kemanusiaan yang penuh. Yesus mewahyukan apa yang dimaksud dengan menjadi manusia penuh dengan membantu kita melihat sepintas realitas Allah yang misterius.
Gutierrez memandang Yesus sebagai pribadi sentral dalam sejarah. Yesus adalah sebuah koherensi dan finalitas yang unik. Sentralitas Yesus ditekankan dalam A Theology of Liberation. Gutierrez menulis bahwa hanya ada satu sejarah yaitu sejarah yang mengarah pada Kristus sebagai tujuan (Christo-finalized).Ungkapan ini berarti bahwa setiap segi hidup termasuk eksistensi dan sejarah kita menemukan titik referensi penuh di dalam Yesus. Inilah undangan Allah untuk berpartisipasi dalam keselamatan dunia kita. Yesus menyimpulkan arti sejarah dan menantang kita untuk membentuk kembali masyarakat yang sesuai dengan visi-Nya tentang kerajaan Allah.
Gutierrez menggambarkan ysus sebagai inkarnasi janji Allah tentang keselamatan yang dipenuhi dalam peristiwa sejarah tetapi belum sepenuhnya sempurna. Kehidupan dan sabda Yesus memberi definisi dan logika baru terhadap masyarakat tertindas yang mencari pembebasan. Yesus menyatukan perjuangan di masa lampau, sekarang dan masa datang dengan menempatkan orang miskin menjadi bagian dari proses keselamatan yang terus berlanjut dalam sejarah. Kristus tidak hanya telah datang, tetapi Dialah yang harus datang. Yesus adalah masa depan sejarah kita. Yesus menyatukan masa depan sejarah dalam kotbahnya yang secara khusus berhubungan dengan kerajaan Allah.
Gutierrez memahami kotbah Yesus tentang Kerajaan Allah sebagai panggilan untuk pembebasan integral atau keselamatan yang meliputi seluruh manusia. Keterlibatan yang diperlukan adalah andil dalam perjuangan melawan sesuatu yang menghalangi pembangunan manusia seutuhnya dan penciptaan masyarakat yang adil.
Dengan demikian, mengutip pendapat Pannenberg , Gutierrez mempertimbangkan Kerajaan Allah menjadi suatu yang subversif secara politis. Inti pesannya adalha panggilan untuk mengakhiri dominasi manusia atas manusia lain. Dengan perspektif ini kiranya kita dapat memahami mengapa Yesus menghukum kemapanan dan sosio-religius di jaman-Nya.
Pemahaman Gutierrez tentang Yesus menampilkan ciri “ high and low Christology”. Yesus menyatukan keallahan dan kemanusian dalam latar belakang sebuah proses dinamis yang menggerakkan: “dari manusia ke Allah dan dari Allah ke manusia, dari sejarah ke iman dan dari iman ke sejarah, dari kata manusia ke Sabda Allah dan dari sabda Allah ke kata-kata manusia, dari cinta persaudaraan ke cinta akan Bapa dan dari cinta kepada Bapa ke cinta persaudaraan, dari keadilan manusia ke kekudusan Allah dan dari kekudusan Allah ke keadilan manusia, dari kaum miskin kepada Allah dan dari Allah ke orang miskin”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Gutierrez menerima Yesus sebagai sebuah hermeneutika iman yang utama. Yesus menerangkan kehadiran keselamatan Allah dalam sejarah dan secara bersamaan meminta kita untuk menanggapinya dalam konteks lingkup sosial kita. Oleh Gutierrez, kemanusiaan Yesus menunjukkan kehadiran Allah di antara kita.
Dengan mengutip pendapat Bonhoeffer , Gutierrez merasa bahwa kehidupan Yesus harus dilihat sebagai satu rangkaian yang bergerak dari inkarnasi menuju penyaliban, dari penyaliban menuju kebangkitan. Menguji langkah pertama (inkarnasi) dan langkah kedua (penyaliban) tanpa memikirkan langkah terakhir (kebangkitan) tidaklah mungkin. Yesus berbicara tentang seorang Allah yang tak terpahami dalam sebuah teologi masyarakat berkelas. Allah yang ia wartakan adalah Allah yang menuntut keutuhan dan kebenaran serta kebijaksanaan dimana seorang pemegang kekuasaan memperhitungkan yang lemah. Gutierrez meringkaskan “nuansa kelemahan Allah” sebagai berikut: Allah adalah Allah yang menyelamatkan kita dengan tidak melalui dominasi melainkan melalui penderitaan. Di sini kita tahu tesis Bonhoeffer, mengenai “kelemahan” Allah.(“weakness” of God).
Ungkapan kelemahan Allah terbukti dalam kehidupan Yesus digunakan Gutierrez sebagai kunci hermeneutik yang membuka arti lebih dalam dari penderitaan orang-orang tertindas. Sebagaimana Yesus yang miskin dikurbankan tetapi kemiskinan dan rasa sakitnya bukanlah kata akhir. Demikian juga orang miskin berjuang untuk mencapai pembebasan dalam sejarah bukanlah suatu pemborosan energi tetapi sebuah usaha bersama yang mempunyai kemenangan mutlak yang ternaungi dalam kebangkitan Yesus.
Menurut Gutierrez, kunci untuk setiap interpretasi teologis adalah Kristus, khususnya sabda dan karya-Nya yang menuntunnya ke kematian. Sebuah pendekatan kristologis memungkinkan untuk mengelompokkan pengalaman dan refleksi atas iman yang telah dijalani kaum miskin melalui pendidikan sejarah dan bersatu dengan pengalaman dan refleksi masuk ke dalam sebuah teologi yang valid dan otentik. Pada saat yang sama, akan terbuka bagi kita masa depan sebuah kebangkitan yaitu kehidupan yang menahklukkan kematian. Yesus sendiri berdiri sebagai bukti harapan bahwa tindakan cinta tersebut tidaklah sia-sia. Meskipun perjuangan tersebut sangat mungkin dihalangi, namun harapan tersebut sedikit demi sedikit mengarah pada proses pembebasan yang menjamin kemenangan mutlak. Inilah sebuah resep yang fundamental bagi iman kristiani.
Komunitas Kristiani dan Praktek Pembebasan
Gutierrez percaya bahwa kehidupan dan kebangkitan Yesus diteruskan dalam sejarah. Peletak dasar kerja untuk kerajaan Allah adalah “dangerous memory”. Dangerous memory tersebut menantang kesadaran kita terus menerus. Ingatan akan Yesus yang provokatif terus hidup dalam Gereja .
Gereja dituntut untuk terus menghidupkan “dangerous memory” dan membuat ingatan itu menjadi nyata dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang direndahkan kerena penindasan, umat kristiani jelaslah memainkan peranan yang subversif yaitu mengutuk segala bentuk penindasan dan mengumandangkan panggilan Allah untuk pembebasan. Bagi Gutierrez, Gereja adalah sakramen sejarah.
Gereja yang dibicarakan Gutierrez seperti Yesus juga menyatu dengan kelemahan Alalh. Inilah gereja kaum papa. Gereja menganggap perspektif dan pengalaman orang miskin sebagai normanya. Baginya, satu-satunya gereja yang otentik adalah satu gereja yang sungguh-sungguh dari dan bagi orang miskin.
Melihat realitas di Amerika latin, Gereja membutuhkan inovasi yang radikal. Gereja katolik adalah kekuatan yang dikenal di seluruh benua tetapi kekuasaannya telah tumbuh dari relasi simbiosis dengan elite penguasa. Gereja harus “menyesuaikan kembali dengan injil.” Tuntutan visi kerajaan Allah harus menjadi yang terutama di dalam pemikiran Gereja. Gereja ini harus menjadi sebuah komunitas ‘anti-ideologi” yang dipaksa oleh injil untuk berjuang melawan nilai-nilai palsu dan penindasan statusqou sebagaimana dilakukan oleh Yesus sendiri.
Agar perjuangan pembebasan menjadi efektif, harus dipikirkan terlebih dulu dan perlu pengorganisasian yang jelas. Perlu menata kembali struktur sosial gereja yang harus mengabdi kaum tertindas bukan kaum penindas. Untungnya, gereja di Amerika latin telah mulai melakukan hal yang benar. Gutierrez sangat terlibat dalam persiapan untuk konferensi uskup di Medellin dan Puebla (1979) . Daia telah menjadi penasehat sekaligus teman beberapa uskup Peru. Dalam dua puluh terakhir ini telah terlihat anggota hirarki katolik bertindak dengan dorongan profetis.
Seiring dengan program ‘menyesuaikan diri kembali dengan injil”, komunitas kristiani mendefinisikan diri kembali apa artinya menjadi gereja. Gereja yang semula adalah gereja institusional sekarang menjadi komunitas persaudaraan. Gereja yang secara baru kreatif dan kritis merefleksikan sifat-sifat manusia yang menjadi anggotanya. Sejarah, bahasa dan budaya mereka merupakan bagian penting dari tradisinya. Gereja sungguh-sungguh mengekpresikan kehidupan dan iman orang-orang yang tertindas.
Namun demikian pantas untuk dicatat bahwa Gutierrez tidak melihat gereja bahkan gereja kaum papa sebagai sebuah institusi yang menyelamatkan. Ia menegaskan bahwa Tuhan sendirilah yang menyelamatkan. Gereja mampu mewahyukan kepada manusia kehadiran keselamatan yang diakibatkan oleh Kristus, Sang Sabda Allah. Ia mempunyai kekuatan untuk mewahyukan rahasia sejarah serta membongkar misteri keselamatan.
Gereja dipanggil untuk menjadi sebuah tanda datangnya kerajaan Allah walaupun keterbatasan dan kadang-kadang ketidaksetiaannya sangat jelas. Dalam masyarakat yang beratmosfir penindasan, komunitas kristiani harus terus menyediakan pelayan yang diperlukan masyarakat secara luas. Dengan kesetian pada injil, Gereja akan menjadi sebuah model alternatif penjamin keutuhan manusia di tengah kejahatan dan perendahan martabat manusia.
Gutierrez memahami keterlibatan orang kristiani terjadi karena mereka mempunyai tanggung jawab di bidang sejarah. Jika iman mereka tidak mendorong ke arah perjuangan bagi sesama yang tertindas, iman mereka hanyalah sebuah abstraksi yang tidak berguna sama sekali. Ada relasi yagn langsung antara iman dan tindakan politik. Hubungan ini terlihat dari dorongan seseorang untuk mencari norma-norma iman. Untuk sungguh-sungguh efektif pilihan-pilihan tersebut harus berdasarkan realitas secara rasional
Peranan Gereja adalah bertindak sebagai sebuah penuntun etis. Kegagalan yang terjadi dalam masyarakat, memanggil Gereja untuk menciptakan sebuah dunia yang lebih bebas sesuai dengan rencana pencipataan. Panggilan ini menumbuhkan aktivitas politik komunitas kristiani mengalir secara alami di dalam gereja di tengah masyarakat yang penuh penindasan. Inilah tanggapan Gereja terhadap tantangan etis perilaku sosial yang terangkum dalam Mat 25: 31-46, apa yang kita kerjakan bagi orang miskin kita kerjakan untuk Kristus sendiri.
Gereja kaum miskin yang dibela Gutierrez di akhir tahun 1960-an telah menjadi realitas dalam komunitas basis dewasa ini yang tersebar di Amerika latin. Pengalaman masyarakat akar rumput telah mendidik bahwa komunitas kristiani adalah cara yang paling efektif untuk menyemangati kehidupan gereja institusional di negara dan benuanya. Pengalaman tersebut juga telah mendidiknya bahwa jika perjuangan kristiani untuk pembebasan, mereka dapat menduga bahwa reaksi kekerasan akan mereka terima dari pihak penguasa. Dalam suasana seperti inilah Gutierrez menyebut bahwa gereja kaum papa sedang berjalan melalui sebuah periode kemartiran. Penganiayaan membantu kaum miskin untuk memahami peran mereka dalam masyarakat. Merekalah yang menyampaikan pesan harapan walaupun rusak karena penindasan. Kedewasaan mereka sebagai umat beriman tumbuh seiring dengan kualitas komitmen yagn berkembang. Kita tidak berada di waktu senja sejarah Gereja tetapi berada di awal hari baru dari sebuah kesempatan untuk evangelisasi yagn belum pernah sebelumnya.
Apa yang digambarkan Gutierrez dalah sebuah gereja kaum papa yang berusaha menjadi setia terhadap visi Yesus. Gereja adalah sekelompok orang yang berjuang mengatasi dosa dalam masyarakat mereka dan membuka diri mereka terhadap kerajaan Allah. Keberhasilan mereka telah dicatat meskipun penganiayaan berdarah terjadi.
Gereja Amerika latin bergembira atas kredibilitas gereja kaum miskin karena telah menjadi tanda orthopraxis Injil yang nyata. Namun demikian, Gutierrez menyadari bahwa komunitas umat beriman tidak kebal terhadap masalah intern. Gereja bukanlah institusi yang tidak dapat salah tetapi sebuah komunitas yang menganggap tantangan dengan lebih baik. Dalam teologi pembebasan tidak ada pendekatan analisis yang tunggal. Tidak satupun sistem teologi atau spiritualitas pembebasan bersifat utuh. Perdebatan terkadang tidak dapat dihindari. Bagi Gutierrez, bagaimanapun juga pluralitas bukanlah masalah tetapi justeru merupakan tanda kehidupan.
Kesimpulan
Teologi Gustierrez membuka cakrawala baru bagi Gereja terutama dalam berteologi. Keterlibatan sebagai sakramen sejarah semakin diharapkan untuk berpihak pada kaum miskin. Keterlibatan tersebut memang mempunyai dasar yang kuat yaitu visi dan misi kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus sendiri. Dalam hal ini, Gereja sebagai komunitas umat beriman harus selalu berani setiap saat untuk menyesuaikan diri dengan pesan injil sehingga kehadiran Allah semakin dirasakan oleh umat manusia dalam sejarah ini. Penderitaan dan kematian selalu mengiringi langkah teologi pembebasan. Namun demikian, kematian bukanlah kata ahkir karena Kristus yang bangkit menjadi tujuan sejarah keselamatan kita.
Catatan-catatan:
Tulisan tersebut merupakan rangkuman pemahaman Curt Cadorette tentang Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez yang terdapat dalam buku From the Heart of the People khususnya hal 115-129. Oleh karena itu alur pemikiran juga mengikuti gagasan Cadorette. Curt Cadorette sendiri adalah seorang imam Maryknoll yang pernah bekerja di antara penduduk Aymara di Peru. Ia menerima gelar doktor di bidang teologi dari St. Michael’s College, Toronto Kanada. Ia pernah mengajar di Maryknill School of Theology dan Marist College. (Cadorrete, Curt, Liberation theology: An Introductory Reader, New York, Orbis Books, 1992, hal 291-292)
Wawancara ini pertama kali diterbitkan dalam: Neue Luzerner Zeitung, November 1998 dan diterjemahkan dari bahasa Jerman di World Wide Web, Error! Reference source not found.. Secara lebih lengkap jawaban atas pertanyaan bahwa teologi pembebasan sudah tidak bergema di jaman ini adalah sebagai berikut: I don’t know how this impression arose. Liberation theology was born in the midst of Latin America’s poverty. This poverty still exists. When poverty disappears, liberation theology will not be needed anymore. I will be very happy if that happens!
Gustavo Gutierrez adalah seorang imam Dominikan yang berkebangsaan Peru. Ia seorang teolog yang tinggal di Lima, Peru. Untuk lebih lengkapnya Riwayat singkat Gustavo Gutierrez dapat dibaca dalam (Chen, Martin, Pr Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari praksis Kaum miskin, Yogyakarta, Kanisius 2002 terutama pada hal 26 - 32
Michael Lowly, seorang Brasil yang bekerja sebagai sosiolog dan pengarah penelitian pada Centre National de la Recherche Scientifique di Paris Perancis mencoba membuat pemetaan mengenai berbagai macam pemikiran teologi di Amerika latin. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Teologi Pembebasan (diterbitkan oleh Insist dan Pustaka Pelajar, 1999
Misalnya Erizue Dussel melihat bahwa permulaan teologi pembebasan pada saat munculnya Bartolome de Las Casas . Secara lengkap tahap-tahap teologi pembebasan tersebut dapat dilihat dalam Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan: sejarah, metode, praksis dan isinya, Jakarta , Pustaka Sinar Harapan, 1987 hal 24 dan seterusnya.
Utopia dalam kerangka pikir Gutierrez mempunyai nuansa yang konkret karena pada dasarnya ia menggunakan utopia yang dimaksudkan oleh Ernst Bloch. Gutierrez uses the notion of utopia ‘in order to correct the dogmatism and pragmatism of communist totalitarianism and political conservatism of reactionary Christianity associated with traditional circles. (Cadorrete, Curt, From the Heart of the People: the Theology of Gustavo Gutierrez, Illinois, Meyer Stone Books, 1988, hal 98)
Sebagaimana dikutip oleh Curt Cadorrete dalam buku From the Heart of the People: The Theology of Gustavo Gutierrez, hal 118.
Sebagaimana dikutip oleh Curt Cadorrete dalam buku From the Heart of the People: The Theology of Gustavo Gutierrez, hal 119-120
.Gereja dipahami sebagai komunitas umat yang percaya bahwa Allah yang membangkitkan Yesus sama dengan Allah yang hidup di tengah-tengah mereka.
Secara panjang lebar Gutierrez menerangkan gereja sebagai sakramen sejarah dalam artikel yang berjudul: The Church: Sacrament of History dalam Cadorrete, Curt, Liberation theology: An Introductory Reader, New York, Orbis Books, 1992, hal 170-180)
Istilah ideology digunakan dalam ilmu-ilmu sosial atau teologi pembebasan dengan pembatasan yang cukup ketat, dan juga susah diterangkan karena setiap orang dapat menggunakan dengan cara yang berbeda dan juga maksud yang berbeda. Beberapa ahli memahami istilah ideologi seperti cara pandang dunia atau seperangkat nilai yang mempertahankan sebuah masyarakat secara bersama-sama. Namun demikian dalam konotasi Gutierrez, ideology berkonotasi pada distorsi realitas oleh kaum penguasa.
Juan Hernandez Pico SJ, menggambarkan suasana solidaritas di Puebla, Mexico dengan begitu hidup. Terutama air mata yang keluar dari uskup El Savador Oscar Romero yang begitu terharu dengan solidaritas uskup atas dirinya. (Sobrino, Jon,SJ dan Hernandez Pico, Juan SJ, Teologi Solidaritas (terj. ) Yogyakarta, Kanisius 1988 hal 66 dan seterusnya.
Daftar Pustaka:
• Chen, Martin, Pr Teologi Gustavo Gutierrez: Refleksi dari praksis Kaum miskin, Yogyakarta, Kanisius 2002
• Cadorrete, Curt, From the Heart of the People: the Theology of Gustavo Gutierrez, Illinois, Meyer Stone Books, 1988
• Cadorrete, Curt, Liberation theology: An Introductory Reader, New York, Orbis Books, 1992
• Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan: sejarah, metode, praksis dan isinya, Jakarta , Pustaka Sinar Harapan, 1987
• Sobrino, Jon,SJ dan Hernandez Pico, Juan SJ, Teologi Solidaritas (terj. ) Yogyakarta, Kanisius 1988
0 komentar:
Posting Komentar