“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah,
miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka
yang kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia
menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia,
yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.
Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %.
Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal
sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah
“terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya
kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin,
tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
(YB.Mangunwijaya Pr, “Sang Burung Manyar”)
miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka
yang kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia
menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia,
yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.
Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %.
Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal
sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah
“terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya
kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin,
tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
(YB.Mangunwijaya Pr, “Sang Burung Manyar”)
Gereja Katolik sudah seharusnya melihat Paus Fransiskus dan sekaligus tentunya Santo Fransiskus sebagai sumber inspirasi dan aspirasi pembaharuan atas hidup yang kita pilih. Pertemuan Fransiskus dengan orang kusta merupakan titik balik dalam pertobatannya. Setelah meninggalkan dunianya, Fransiskus hidup di antara mereka dan apa yang dahulu pahit sekarang menjadi manis dan terang baginya. Fransiskus mengindentifikasi dirinya dengan si Kusta lebih dari sekedar protes sosial. Orang kusta membantu Fransiskus untuk memahami tempat dalam hidupnya; ia melihat dirinya sendiri sebagai orang miskin seperti setiap orang yang lahir telanjang dan mati telanjang tanpa milik yang ada pada dirinya.
Kegiatan pewartaan Injil kita arahkah pertama-tama kepada orang-orang. Melalui mereka kegiatan itu sampai kepada sistem dan struktur. Hal itu bukanlah suatu masalah wilayah melainkan wilayah manusia yang hidup dalam masyarakat tertentu dan dalam kebudayaan tertentu, sebagai mana kita temukan dalam situasi zaman kita yang ditadai dengan perubahan-perubahan yang menyentuh kehidupan manusia dengan segala dampaknya dalam kehidupan bersama. Dengan demikian kita mewartakan injil kepada pekerja dan secara tidak langsung kepada pekerjaan. Kita mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan kepada sistem-sistem pemerintahan. Sebagai pengikut Fransiskus diinjili dalam persaudaran bukan dalam lembaga yang disebut provinsi atau kongregasi. Karena secara analogis, kita boleh berbicara tentang mewartakan Injil kepada sistem-sistem dan struktur-struktur yang perubahannya merupakan bagian dari tugas pewartaan Injil kita.
Sangatlah penting bahwa kita dapat dicapai secara langsung oleh “yang lain” sebagai pribadi. Itu berarti perbedaan sangat relevan Masalah orang miskin dalam situasi zaman kita terakhir ini juga muncul sebagai masalah tentang orang lain, orang-orang yang sungguh-sungguh, juga kalau mereka terperangkap dalam realsi-relasi dan sistem-sistem yang menyebabkan dan menghasilkan situasi-situasi yang sangat tidak manusiawi. Kesetiakawanan yang sama menuntut supaya kita menghormati yang lain yang mempunyai identitas yang berbeda, memaksa kita untuk ambil bagian dalam keadaan orang lain dalam orang miskin
Dengan mengikuti Kristus yang miskin, rendah dan seorang perantau kita ikut ambil bagian dalam hidup serta keadaan orang-orang kecil di masyarakat dengan selalu tinggal di antara mereka sebagai orang yang hina tanpa menjauhkan seorang pun dari mereka terutama yang biasanya tersisihkan dalam hal sosial dan rohani. Kita pasti berbicara tentang ikut ambil bagian dalam kehidupan orang miskin tetapi tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk hidup di dunia sebagai pengerak dan pewarta damai, memperjuangkan hak-hak orang yang tertidas dan kita secara penuh sadar akan pentingnya dan gawatnya masalah sosial. Kita harus sekuat tenaga berusaha untuk menjamin bahwa martabat manusia dan hak-hak semua orang dihormati dan diusahakan
“Option for the poor” jelas berakar dalam Injil itu sendiri. Hal itu menghubungkan kita dengan cara hidup kita yang sebenarnya dan menghimbau kita untuk bertemu dengan Kristus dalam orang miskin. Sesungguhnya apabila kita menghayati cara hidup mereka dalam kesetiakawanan dengan mereka yang kecil, rendah hati tidak berdaya seperti mereka, kita diinjili oleh mereka.
Disini, Injil menantang kita secara kongkret untuk memeriksa kembali kemiskinan cara hidup kita-opsi-opsi yang kita lakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai sebuah komunitas persaudaraan. Kita ditantang untuk memandang sejarah dan kehidupan kita dari sudut pandang orang miskin dengan memberikan prioritas kepada kebutuhan-kebutuhan mereka yang utama dan membuat kebutuhan-kebutuhan itu menjadi kebutuhan kita sendiri. Kita dipanggil untuk hidup dengan apa yang sungguh-sungguh perlu dalam semangat berbagi, kesetiakawanan dan persaudaraan. Kita dipanggil untuk melawan ketidak adilan dimulai dari diri kita sendiri sambil terus berjuang bersama karena dewasa ini banyak tatanan yang mengorbankan hidup manusia begitu kuat terjadi di sekitar kita. Pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi lingkungan atas dasar ekonomi semat-mata tanpa memikirkan masa depan dan keberlanjutan hidup manusia. Segalanya diukur dengan materi sedemikian rupa sehingga tidak ada rasa hormat terhadap ciptaan.
Teriakan orang miskin terus menerus mencari nabi-nabi dan pewarta Injil dari antara kita yang cukup berani untuk menyertai mereka dan yang dari sudut iman dan pengalaman akan Allah akan memberikan suatu dimesi baru kepada organisasi-organisasi serta perjuangan-perjuangan mereka dengan mengidentifikasikan dengan jelas akar-akar dosa sosal dalam situasi zaman ini. Tetapi harus menjadi nabi-nabi, yang dapat menyelaraskan iman dan kehidupan dan membuat option for the poor menjadi suatu kenyataan hidup menjadi bagian integral cara hidup kita dan karena itu menjadi bagian integral perutusan kita untuk mewartakan Injil. Renungkan: Yoh. 18:13-27
Fransiskus sebagai Cermin
Jika kita menghayati karisma Fransiskus tentu saja kita tidak membutuhkan rumus-rumus atau teori-teori yang baru untuk membuat suatu option for the poor. Cukuplah kita mempraktekkan kedinaan, kemiskinan Injil dan identitas kita menjadi usaha dan perjuangan kita seturut profesi yang kita janjikan untuk menepati Injil Tuhan Kita Yesus Kristus. Kita semua dapat dengan jujur melihat pada perutusan dan karya kita dewasa ini sungguhkan semua itu mencerminkan semangat asali kita dalam mengikuti Kristus- yang karena kemiskinannya rela meninggalkan keallahanNya menjadi seperti kita. Fransiskus dalam hidupnya sungguh menghayati bagaimana perendahan diri Allah ditemukan dalam si kusta. Dewasa ini kitapun dihadapkan dengan si kusta zaman ini dalam masyarakat kita.
Dewasa ini merupakan imperatif /perintah bahwa kita memahami proses-proses globalisasi sebagimana diuraikan diawal pertemuan kita sehinga kita dapat menempatkan lebih baik masalah orang miskin dan masalah “orang miskin yang baru dan terutama mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang menghasilkan kemiskinan dan segala bentuknya. Selalu membesarkan hati untuk mengingat bahwa tindakan kongkret sekecil apapun merupakan latihan cinta kasih yang bersifat profetis.
Dalam saat yang penuh rahmat ini kita bisa melihat semangat asali kita yang bersumber pada Injil sebagaimana dihidupi oleh Bapa Fransiskus dan Gereja Universal. Mereka menghidupi Injil dalam konteks zamannya sedemikian rupa sehinga menghasilkan suatu kesaksian yang luar biasa terlebih melalui cara hidup mereka yang digerakkan oleh Injil sebagai ukuran pertama dan utama. Berakar pada Injil dan mewartakan Injil sehingga hidup mereka adalah Injil itu sendiri. Dihayati dalam semangat totalitas dan spirit berani keluar dari diri sendiri untuk saling berbagi, diperjuangkan dengan setia dalam kekuatan Roh Allah yang merasuki hidupnya; Fransiskus menjadi cermin bagi kita. Sehingga karya terbesar dalam hidupnya bukan pada karya-karya sosial mereka yang berpihak kepada kaum miskin melainkan pada cara hidup mereka sendiri yang diinjili karena mereka menyadari bahwa mereka juga miskin dihadapan Allah. Fransiskus hidup dalam zaman di mana uang menjadi raja dan ini juga bisa terjadi dalam zaman kita sekarang. Fransiskus sewaktu masih muda sebagaimana dalam riwayat hidupnya memakai uang, tetapi rahmat Tuhan menghantar di pada perjumpaan dengan si kusta. Ia tidak lagi memberikan uang tetapi memberikan hidupnya dengan melayani mereka. Ia menempatkan dirinya dalam solidritas dengan mereka karena si Kusta adalah cermin dari diri Kristus sendiri. Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagi milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi seorang manusia(Flp. 2:6-7). Kristus sendiri yang telah mewahyukan kepadanya untuk memilih kemiskinan di dunia bukan yang lain. Kemiskinan Fransiskus bukan didasarkan pada status yang mau diambilnya tetapi pertama-tama sebagai jalan mengikuti Kristus yang miskin yang telah membimbingnya untuk memilih kemiskinan sebagai cara hidupnya untuk semakin bersatu dengan Kristus.
Pertanyaan yang pantas diajukan adalah apakah kita dalam seluruh cara hidup kita sungguh menghidupi dan mengintegrasikan kharisma Fransiskus sebagai bagian dari usaha membangun pertobatan. Pilihan atas kedinaan mengajak para saudara-saudari untuk tidak mencari kesuksesan demi kesuksesan dalam pekerjaan mereka, juga bukan kedudukan terhormat.
“Jangan sekali-kali mereka ingin menjadi berada di atas orang lain tetapi sebaliknya mereka harus menjadi hamba dan bawahan semua orang karena Allah” mengingatkan kita bahwa kedinaan harus mewarnai kualitas corak rohani pribadi dan persaudaraan terlebih dalam lingkungan karya mereka dimana mereka dipanggil untuk mengabdi dan bekerja. Tanpa terlebih dahulu diinjili maka kesaksian dan karya kita yang sangat besar sekalipun sangat tidak berarti.
Fokus:
Apakah cara hidup kita sungguh memberi opsi pada mereka yang tersingkir. Apakah kita juga siap menerima konsekuensi bila pilihan kita membawa penderitan, tekanan dan ancaman bagi diri dan persaudaraan kita. Bacalah Luk. 22:54-71; 23:1-25
Selamat menjadi miskin!
Karena tidak cukup berbicara TENTANG orang miskin tanpa bicara DENGAN orang miskin.
“… Angin topan bertiup menimpa pohon-pohon, menggugurkan daundaun
kering, dan merontokkan ranting-ranting lapuk.
Akan tetapi, topan itu tak dapat mencabut Salib Suci yang tertanam
dalam di perut bumi.
Jangan menyesali hilangnya ranting-ranting itu.
Jika tidak ada angin pun mereka pasti akan jatuh, dan jika mereka
tidak jatuh pun masih tetap perlu dipangkas.
Jika engkau ingin menghindari penderitaan, jangan berharap untuk
menjadi seorang kudus….”
0 komentar:
Posting Komentar