@ KOMITMEN ORANG KRISTEN DALAM MASYARAKAT YANG
KEHILANGAN ARAH.
4. Dari Manakah Saya Memperoleh Komitmen
Kristen?
Ini bukanlah rahasia. Saya memperolehnya dari
seseorang yang merelakan namanya tersembunyi di balik program-program partai
Kristen, dan yang namanya sering kali hanya diperlakukan sebagai “ketua
kehormatan” tanpa memiliki pengaruh nyata apa pun. Saya mendapatkan nilai-nilai
Kristen hakiki ini dari Yesus dari Nasaret, tokoh sejarah dan bukan mitos.
Sebagai tokoh sejarah, Dia menjadi Kristus yang berwibawa dalam segala hal bagi
umat Kristen sepanjang masa. Dia mewartakan Allah yang satu dan satu-satunya di
dalam pengalaman manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dia adalah Allah
yang sama. yang telah berbicara dan disapa di dalam sejarah bangsa Israel. Dia
mewartakan Allah ini dengan wajah manusia, sebagai Allah yang hidup dan dekat.
Di dalam seluruh hidup dan segala sesuatu yang dibuat-Nya, Yesus menampilkan
wajah Allah. Ketika Yesus berbicara mengenai Allah ini dan bertindak dalam nama
Allah, apa yang samar-samar di dalam Perjanjian Lama dibuat jelas, yang kelihatan
ambigu di sana menjadi terang. Allah Israel yang satu dan benar ini sekarang
dimengerti secara baru. Kita mungkin dapat meringkasnya dengan mengatakan bahwa
Dia dimengerti sebagai bapak dari anak hilang, sungguh-sungguh sebagai Bapak
dari semua orang yang tersesat, bukan hanya sebagai Bapak dari kaum saleh dan
mereka yang benar sejak semula.
Allah ini, sebagaimana diwartakan Yesus,
bukanlah Allah yang semata-mata maskulin, sewenang-wenang, terikat hukum,
semacam orang yang tata tertibnya kaku, Allah tanpa rona keibuan, sebagaimana
sering diajarkan kepada anak-anak. Dia bukanlah Allah yang digambar sebagai
raja, tiran, dan dikator. Allah ini benar-benar Allah yang mencintai yang juga
Ibu saya: yakni, Dia adalah Allah kasih yang demi seluruh kadilan-Nya,
memberikan diri seutuhnya kepada seluruh manusia, seluruh kebutuhan dan harapan
mereka (yang juga penting bagi masalah-masalah mengenai moralitas seksual).
Saya mohon Anda tidak mengartikan kata-kata ini dalam arti yang dangkal. Dia
adalah Allah yang tidak melulu menuntut, tetapi memberi; yang tidak menekan,
tetapi membebaskan; yang tidak membuat manusia sakit atau meracuni hidup,
tetapi menyembuhkan. Dia adalah Allah yang memaafkan mereka yang jatuh –siapa
yang tidak pernah jatuh? Allah yang mengampuni, bukannya mengutuk, membebaskan
bukannya menghukum, membuat rahmat berkuasa bukannya hukum; yang bergembira
karena pertobatan seorang pendosa daripada sembilan puluh sembilan orang benar.
Maka Dia adalah Allah yang memilih si anak hilang daripada anak yang tinggal di
rumah, lebih memilih pemungut cukai daripada kaum Farisi, para bidah Samaria
daripada kaum Ortodoks, para pelacur dan pezinah daripada para hakim yang
membenarkan diri mereka sendiri. Sebagaimana Anda melihat, khotbah Yesus ini
terasa menyerang dan keras, bukan hanya di masa lampau dalam sejarah tetapi
juga untuk saat ini, khususnya karena disertai oleh praktik yang sama: bukan
ekskomunikasi, melainkan komunikasi – bahkan persekutuan! Dia duduk – bahkan
Dia duduk di seputar meja – bersama dengan mereka yang dinista dan pecundang,
segala macam “pendosa”.
Jelaslah bahwa sebutan Bapa kepada Allah
semacam ini bukan saja sebuah gema dari pengalaman kebapakan, maskulinitas,
kekuatan, dan kekuasaan di dunia ini. Ini bukanlah Allah sebagaimana dilihat
Feuerbach, yang semula teolog dan kemudian menjadi ateis: Allah untuk masa
setelah kematian dengan mengurbankan masa kini dan di sini, dengan mengurbankan
manusia dan keagungan mereka yang sesungguhnya. Allah ini juga bukan Allah
sebagaimana dikritik Marx: Allah para penguasa, Allah dari kondisi sosial yang
tidak adil, Allah dari kesadaran yang rusak, dan Allah dari hiburan palsu.
Allah ini bukanlah Allah yang ditolak Nietzsche: Allah yang dimunculkan oleh
kemarahan, Allah kaum lemah yang menyedihkan. Allah ini bukanlah Allah yang
ditolak Freud dan sejumlah psikoanalis: super-ego tiran, gambaran salah akan
kebutuhan masa kanak-kanak, Allah dari upacara yang obsesif yang muncul dari
kompleks rasa salah, kompleks ayah, atau Oedipus complex.
Bukan, Allah ini adalah Allah yang berbeda:
Allah yang menempatkan diri-Nya di atas kebenaran hukum formal, logis, kejam,
dan mewartakan keadilan yang “lebih baik” dan bahkan mungkin membenarkan
pelanggar hukum; Allah yang menurut-Nya perintah-perintah ada demi pribadi
manusia, dan bukan pribadi manusia demi perintah; Allah yang tidak menumbangkan
tatanan hukum dan seluruh sistem sosial yang ada, tetapi yang merelatifkan demi
umat manusia; dan Allah yang menghendaki agar pemisah penggolongan antara orang
baik dan orang jahat, teman dan lawan, sesama dan orang asing, pekerja dan
penganggur, seluruhnya disingkirkan. Bagaimana caranya? Dengan kerendahan hati,
penyangkalan diri, kasih, pengampunan tanpa batas, pelayanan tanpa
memperhitungkan imbalan, pengurbanan tanpa kompensasi. Dengan begitu Allah
menempatkan diri-Nya pada sisi kaum malang, terlupakan, tertindas, lemah,
miskin dan sakit, dan bahkan – tidak seperti kaum yang membenarkan diri – pada
pihak yang tidak saleh, tidak bermoral, dan tidak bertuhan. Allah itu murah hati,
amat sangat murah hati, kepada manusia.
Demi Allah dan kemurahan hati-Nya yang indah
inilah Yesus memberikan diri dan hidup-Nya. Demi Dia, Yesus berbicara,
berjuang, menderita, dan dihukum mati. Dan pada titik inilah, tentu saja,
pertanyaan selalu muncul: apakah semuanya tidak berakhir bersama dengan
kematian-Nya? Dengan hati-hati, kita dapat memberi jawaban berikut, yang
kiranya dapat diterima pula bahkan oleh orang non-Kristen: Merupakan kenyataan
sejarah dunia bahwa kematian Yesus bukan akhir segalanya, tetapi menjadi awal;
bahwa komunitas pertama-Nya mewartakan Dia – yang semula dianggap sebagai guru
bidaah, nabi palsu, perayu umat, penghujat, yang kabarnya dikutuk Allah –
sebagai Mesias Allah, Kristus, Tuhan, Anak Manusia, Anak Allah. Mengapa begitu?
Menurut sumber-sumber Perjanjian Baru, mereka yakin – dan hanya keyakinan
inilah menjelaskan munculnya kristianitas – bahwa Yesus telah mati, bukan mati
ke dalam ketiadaan, tetapi mati ke dalam Allah. Itu berarti bahwa Yesus hidup:
hidup melalui Allah, bersama Allah, dan di dalam Allah. Untuk apa? Untuk kita -
sebagai harapan, sebagai kewajiban, sebagai orientasi!
Sejak saat itu, baik kaum Kristen maupun
non-Kristen telah dihadapkan pada suatu pilihan yang jelas dalam mengarahkan
tujuan hidup mereka.
Terdapat kemungkinan bahwa kita mati dalam
ketiadaan. Saya tidak akan menyangkal sikap hormat saya kepada mereka yang
mengambil posisi ini. Ini merupakan pandangan yang kadang-kadang menuntut
heroisme, dan tentu saja tidak dapat disanggah. Tentu saja tidak seorang pun
yang telah membuktikannya secara positif pula. Belum pernah ada seorang pun
dapat membuktikan bahwa kita mati ke dalam ketiadaan, bahwa semua hidup, kerja,
cinta, dan penderitaan kita berakhir di dalam ketiadaan dan pada dasarnya tanpa
tujuan apa pun. Dan, menurut kesan saya kemungkinan ini tidak masuk akal; tidak
ada keadaan yang menjadikannya masuk akal.
Berikut ini adalah kemungkinan yang lain:
bahwa kita mati ke dalam suatu kenyataan absolut yang kita sebut Allah karena
kita masih belum mempunyai nama yang lebih baik untuk-Nya. Alternatif ini tidak
dapat dibuktikan; tentu saja juga tidak dapat disanggah. Di sinilah setiap
manusia dihadapkan pada suatu keputusan yang tidak dapat dirampas oleh siapa
pun. Kita tidak mempunyai bukti untuk kehidupan kekal. Tetapi – sebagaimana
telah saya katakan – kita mempunyai dasar yang masuk akal. Kita dapat
mengikatkan diri kepadanya dalam kepercayaan yang tercerahi, masuk akal.
Sesungguhnya, bukan untuk menghibur diri dengan janji mengenai suatu kehidupan
setelah kematian, tetapi untuk menempatkan diri kita sendiri jauh lebih tegas
di tempat ini dan saat ini, di dalam hidup ini, di dalam masyarakat dewasa ini.
Dan, bahwa kita mati bukan demi ketiadaan melainkan demi Allah bagiku terasa
lebih masuk akal; terasa lebih masuk akal dalam keadaan mana pun. Pikirkan:
jika Allah benar-benar ada dan jika Ia benar-benar Allah, tidak mungkinlah Dia
hanya Allah dari permulaan, tetapi harus Allah pada akhir juga. Lalu, Dia
adalah Penyempurna kita dan sekaligus Pencipta kita. Dia sendirilah, Pencipta
dan Penjamin semesta dan manusia yang mempunyai lebih dari satu kata lagi untuk
diucapkan, bahkan dalam keadaan sekarat dan pada saat kematian, melampaui
batas-batas semua yang sampai kini telah dialami. Dialah yang mempunyai kata
akhir, sebagaimana Dia mempunyai kata pertama. Jika saya dengan serius
mempercayai Allah yang hidup, yang abadi, saya percaya juga akan kehidupan
abadi Allah, akan kehidupan abadi saya. Maka apabila saya memulai pernyataan
iman saya dengan percaya akan “Allah yang mahakuasa, Pencipta” saya dapat
dengan sangat tepat menyelesaikannya dengan iman akan “kehidupan kekal”.
Iman yang teguh akan hal seperti ini bahkan
sungguh sudah mengubah kehidupan sekarang. Iman ini memungkinkan kita untuk
hidup secara berbeda, dengan makna yang lebih, dengan tanggung jawab dan
keterlibatan yang lebih besar. Iman yang kokoh memungkinkan kita untuk hidup
sesuai dengan ajaran Kristus. Dengan pewartaan-Nya, cara hidup-Nya, dan
nasib-Nya, Yesus menjadi patokan bagi mereka yang percaya kepada-Nya: patokan
bagi hubungan mereka dengan sesama manusia mereka, dengan masyarakat, dan
terutama dengan Allah. Singkatnya, bagi kaum beriman, Yesus dari Nasaret, si
manusia sejati, selalu menjadi perwahyuan yang jelas dan nyata dari Allah yang
satu: Yesus menjadi Mesias-Nya, Kristus-Nya, gambar-Nya, dan Putra-Nya.
Justru dalam cara inilah, Yesus benar-benar
menjadi seorang manusia, sang manusia sejati. Melalui pewartaan-Nya, tingkah
laku-Nya, seluruh nasib-Nya, Yesus memberikan sebuah model manusia yang
memampukan kita secara terus-menerus menemukan dan menyadari makna kita sebagai
manusia, kebebasan kita, hidup kita, saat kita mengikatkan diri kepada-Nya
dengan penuh kepercayaan: di dalam eksistensi kita dan di dalam hidup bersama
dengan sesama kita. Dengan membangkitkan Yesus, Allah menegaskan bahwa Yesus
menjadi patokan utama – yang langgeng dan dapat diandalkan – makna menjadi
manusia. Apa yang jelas-jelas menjadi nyata di dalam perdebatan-perdebatan
teologis akhir-akhir ini adalah bahwa kristologi, mungkin penting, khususnya
bagi para teolog dan para uskup, tetapi iman akan Kristus dan kemuridan
merupakan hal yang hakiki. Yang penting adalah menjadi seorang Kristen. Dialah
yang membuat hal itu mungkin bagi saya – Dia, Kristus Allah, yang identik
dengan manusia historis, Yesus dari Nasaret.
Dengan demikian, bagaimana saya akan menjawab
pertanyaan, dari mana saya memperoleh komitmen Kristen? Saya tahu apa yang saya
andalkan, apa yang dapat saya jadikan pegangan, karena saya percaya kepada
Yesus Kristus. Tetapi dengan mengatakan ini, saya juga dihadapkan pada
pertanyaan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja dalam keadaan apa pun. Apa
arti semuanya ini di dalam praktik?
0 komentar:
Posting Komentar