@
KOMITMEN ORANG KRISTEN DALAM MASYARAKAT YANG KEHILANGAN ARAH.
1. Hilangnya Arah dan Kesetiaan Kristen
1. Hilangnya Arah dan Kesetiaan Kristen
Apa yang masih dapat kita andalkan dewasa ini?
Apa yang masih dapat kita jadikan pegangan? Saya bukan orang pesimis, tetapi
kita tidak perlu diingatkan untuk menyadari bahwa sekarang ini kita sedang
berada dalam “krisis” nilai yang serius. Sejak kaum muda dan mahasiswa
memberontak pada akhir tahun 1960-an, tidak satu pun lembaga atau penjaga nilai
yang tidak mengalami krisis atau belum pernah diragukan. Apakah sampai sekarang
masih ada otoritas yang tidak dipermasalahkan? Dahulu, kita diberi tahu jawaban
yang benar terhadap pertanyaan tersebut; sekarang di mana kita dapat
menyelesaikan perdebatan dengan menggunakan otoritas seperti itu – apalagi
menenteramkan suatu demonstrasi? Tidak ada. Negara, Gereja, pengadilan,
militer, sekolah, keluarga – semuanya dirasa tidak mapan. Mereka tidak lagi
diterima sebagai penjaga nilai tanpa pertanyaan – terutama oleh kaum muda.
Dengan mempertanyakan secara kritis otoritas
yang sudah ada, tradisi dan cara hidup, maka nilai-nilai yang terkait dengan
hal-hal itu juga dipertanyakan. Liberalisasi itu penting, tetapi sering kali
berjalan lebih jauh daripada yang dibayangkan dan direncanakan. Proses-proses
yang dirancang dengan teliti untuk menyingkirkan hal-hal yang dianggap tabu
sering terbukti lebih destruktif daripada kreatif. Akibatnya, dewasa ini banyak
orang menganggap moralitas secara keseluruhan telah menjadi relatif.
Perubahan-perubahan itu membuahkan banyak hal, tetapi tidak semua membebaskan.
Sementara, orang telah kehilangan tempat berpijak yang kokoh; khususnya kaum
muda yang sekarang merasakan bahwa hidup mereka tidak bermakna, alih-alih
menjadi baik mereka justru nakal, atau terjerumus dalam sekte agama yang
ekstrem, atau fanatisme politik, bahkan terorisme.
Krisis nilai berskala besar ini telah
menjerumuskan masyarakat modern ke dalam konflik-konflik yang belum dapat
dipecahkan dengan cara apa pun. Bahkan makna utuhnya mungkin belum ditangkap.
Bagi kakek dan nenek kita, agama atau kekristenan, masih menjadi keyakinan
pribadi. Bagi orang tua kita, agama sekurang-kurangnya masih merupakan tradisi
dan menjadi kebiasaan-kebiasaan yang sudah ditentukan. Namun, bagi putra-putri
mereka yang telah mengalami emansipasi dan itu tidak hanya bagi sekelompok
kecil yang protes, agama semakin dirasakan sebagai barang basi yang tidak
mengikat lagi; sudah lewat dan kuno. Dewasa ini, ada orang tua yang kebingungan
melihat kenyataan bahwa moralitas pada umumnya juga telah lenyap bersama agama
sebagaimana diramalkan Nietzsche. Sebab, semakin lama semakin jelas bahwa
tidaklah terlalu mudah untuk mempertanggungjawabkan nilai-nilai moral melulu
secara rasional, hanya dengan menggunakan akal, sebagaimana diinginkan Sigmund
Freud. Semakin lama semakin tidak terlalu mudah untuk membuktikan melulu dengan
akal mengapa dalam situasi apa pun kebebasan dianggap lebih baik daripada
penindasan, keadilan lebih baik daripada kepentingan-diri, tanpa kekerasan
lebih baik daripada dengan kekerasan, kasih lebih baik daripada kebencian,
perdamaian lebih baik daripada perang. Atau, untuk mengatakannya dengan lebih
tegas: apabila semuanya ini demi keuntungan dan kebahagiaan diri sendiri,
mengapa kita tidak boleh berbohong, mencuri, berselingkuh dan melakukan
pembunuhan; lalu, mengapa kita harus menjadi baik hati atau bahkan “adil”?
Mungkin yang dikategorikan baik adalah yang
menguntungkan saya, menguntungkan kelompok, partai, kelas, suku, atau asosiasi
dagang dan bisnis saya. Bukankah ini masalah egoisme individual atau egoisme
kolektif? Beberapa biolog dan etnolog nyatanya berusaha meyakinkan kita bahwa
bagi manusia, sebagaimana bagi binatang pada umumnya, segala macam bentuk
altruisme atau cinta tidak lain hanyalah bentuk tertinggi dari kepentingan-diri
yang diwarisi secara biologis. Bagaimana pun, para filsuf selalu bertanya di
manakah kita harus menemukan kriteria untuk menilai kepentingan yang berada di
belakang semua pengetahuan – bagaimana kita harus membedakan antara kepentingan
yang benar dan yang khayal, yang objektif dan yang subjektif, yang dapat diterima
dan yang patut dicela.
Pertanyaannya tetap sama: Bagaimana kita harus
menentukan prioritas dan pilihan-pilihan dengan dasar rasional murni?
Pendasaran filosofis atas norma-norma etis konkret pun tidak banyak membantu.
Argumen-argumen tersebut tidak lebih dari generalisasi-generalisasi yang
problematis dan tetap tidak mampu mengatasi keterbatasan model-model yang
utilitaris dan pragmatis. Semua itu mudah runtuh justru dalam keadaan-keadaan
yang luar biasa, saat orang dituntut untuk bertindak bukan hanya untuk
kepentingan dan kebahagiaan diri sendiri, melainkan yang menuntut pengurbanan,
bahkan – dalam kasus istimewa – mengurbankan hidup.
Apakah sampai sekarang kita masih tahu prinsip
yang kita jadikan pegangan? Tentu saja, setiap hari semakin banyak aturan
tingkah laku, “aturan lalu lintas”, pedoman yang kita terima. Tetapi
sebagaimana kita semua tahu, keteraturan hidup tidak sama dengan mempunyai
nilai. Sebaliknya, semakin banyak aturan, perencanaan, dan organisasi yang kita
miliki dan semakin semua bidang kehidupan kita dikuasai oleh hukum, tuntutan,
format, dan “tekanan lingkungan” maka semakin banyak orang menjadi bingung dan
kehilangan wawasan yang mendalam dan menyeluruh. Semakin banyak orang merasa
kehilangan kontrol atas kehidupan mereka sendiri, semakin mereka membutuhkan
tanda-tanda yang jelas untuk membantu mereka mengatasi kerancuan aturan,
ketentuan, dan tekanan dari luar. Dalam arus zaman yang kehilangan arah ini,
orang merindukan suatu pengarahan yang mendasar, suatu sistem nilai hakiki,
suatu komitmen. Komitmen pada nilai-nilai hakiki inilah yang merupakan tema
buku ini, bukan komitmen pada peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan
masyarakat yang bersifat superfisial. (Catatan: dalam teks asli tidak
dibicarakan soal komitmen; hanya soal orientasi dasar-red).
Sebagaimana telah saya katakan, saya bukanlah
seorang pesimis. Manusia sekarang tidak lebih jelek daripada dulu, ketika
nilai-nilai mudah ditemukan secara berlimpah. Orang muda selalu “jelek”,
demikian dikatakan orang-orang tua. Tetapi hal berikut sangat perlu untuk
disampaikan jika kita ingin memahami khususnya generasi lebih muda dewasa ini:
perubahan sosial dengan kecepatan dan kompleksitas yang begitu tinggi seperti
yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya, semakin
sulitlah untuk berpegang pada nilai-nilai hakiki, dan bahaya hilangnya tempat
berteduh dan dasar rohani semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semua orang,
baik muda maupun tua, berusaha menyelesaikan masalah mereka sendiri, sering
dengan cara yang naif. Orang-orang tertentu mengarahkan hidup mereka
menggunakan horoskop, sedangkan yang lain yang lebih bersemangat ilmiah dengan
menggunakan ritme biologis; orang-orang tertentu menata segalanya mengikuti
diet yang direncanakan, yang lain mengikuti yoga; seseorang percaya sekali pada
terapi kelompok, yang lain lagi pada meditasi timur, ada pula yang
berkompensasi dengan tindakan politis. Tetapi, ini bukan melulu permasalahan
nilai individual; ini juga menyangkut nilai-nilai sosial. Banyak sekali permasalahan
etis yang muncul: energi nuklir, manipulasi gen, bayi tabung, perlindungan
lingkungan, konflik-konflik Timur-Barat dan Utara-Selatan; dan menjadi semakin
jelas bahwa permasalahan-permasalahan seperti itu melampaui pemahaman rasional
dan memberi beban berlebihan kepada kekuatan-kekuatan individual. Dewasa ini,
kita dapat melakukan lebih banyak hal dari pada yang kita boleh lakukan) –
tetapi kita sama sekali tidak tahu apa yang seharusnya kita lakukan.
Jelaslah bahwa saya tidak mungkin membicarakan
semua permasalahan yang rumit dalam refleksi yang singkat ini. Tetapi, saya
dapat mengatakan sesuatu yang sangat penting demi pemecahannya, sesuatu yang
harus lebih banyak mendapat perhatian oleh sistem pendidikan kita, yang dipacu
terutama demi penguasaan pengetahuan dan gelar. Saya dapat mengatakan sesuatu
yang akan membantu memberikan dasar pijakan kaki kita, suatu titik pandang yang
berguna untuk mempertimbangkan semua masalah konkret: yaitu dasar bagi komitmen
pada nilai-nilai hakiki, yaitu orientasi dasar kristiani.
Tetapi, justru pada titik inilah
hambatan-hambatan itu muncul. Maka, setelah bagian pertama yang berbicara
mengenai krisis nilai ini, perkenankan saya di dalam bagian kedua memberikan
sejumlah tanggapan yang akan menuntun kita ke arah yang tepat. Di dalam konteks
ini saya ingin memperkenalkan pembedaan penting antara apa yang disebut
“Kristen sebatas nama” dan “Kristen sejati”.
0 komentar:
Posting Komentar