1. Istilah “Magi –Magia- Magis-Magister-Magisterium”
Istilah “magis” adalah kata sifat dalam bahasa
Latin; artinya “lebih”; Dalam perjalanan sejarah hidup manusia kata “magis “
bergulir menjadi kata yang mempunyai berbagai arti. Dalam bahasa Indonesia
“magi” adalah kepercayaan bahwa dalam barang-barang tertentu (pohon, batu,
minuman, dst.) berdiam roh halus atau jin yang dapat dikuasai dengan magi (oleh
magus – dukun, sihir). Dalam usaha ini digunakan rumus, gerak-gerik atau
jampi-jampi yang harus diketaui atau dijalankan baik-baik, sehingga roh itu mau
menjauhkan diri atau malah membantu. Magi itu kedukunan dan ilmu gaib termasuk
takhayul dan adalah dosa.[1] Untuk masyarakat Persia “magus” berati imam. Kita
mengenal kata magi dari Injil Mateus yang sering diterjemahkan ‘ratu tetelu’,
sarjana dari Timur. Selanjutnya ada istilah “magia” yang berarti : ilmu sihir
(pengetahuan ahli-ahli sihir dan ahli-ahli nujum Persia). Ada arti lain ialah :
pesona, sihir, tambul, hobatan, daya gaib. Magis (kata sifat) berarti lebih.
Magis-ter : atas, pemimpin, penganjur, tuan, kepala, ketua, guru, pengajar.
Magis-terium : pengawasan tertinggi, pemerintahan, pucuk pimpinan; jabatan
pimpinan, jabatan ketua.[2] Secara umum, kata “magi” kurang lebih menunjuk
makna “lebih“, entah dalam kenuragaan, kejiwaan seperti terulas dalam kalimat-kalimat
di atas. Uraian tersebut belum menyentuh “magis” dalam makna kerohanian. Apa
ini ?
Hidup seseorang dikategorikan magis, kalau ia tidak henti-hentinya mohon rahmat untuk berkaperti lebih baik. Perwujudannya terjadi dalam proses. Proses orang yang mau memperbaiki hidup lebih baik dengan membuat pemilihan berbagai alternatif, dapat dijalani dengan pertama-tama mendalami tujuan hidupnya yakni memuliakan dan memuji, mengabdi Tuhan serta menyelamatkan jiwanya sendiri.[3]
Mereka yang mau lebih mencintai dan menjadi
unggul dalam hal yang bersangkutan dengan pengabdian kepada Raja Abadi dan
Tuhan semesta, tidak hanya mempersembahkan diri seutuhnya untuk berjuang,
tetapi lebih lanjut dengan bertindak melawan hawa nafsu - cinta kedagingan dan
duniawi dalam dirinya, memberi persembahan yang lebih luhur dan lebih berharga
dengan berdoa demikian :
“O Tuhan semesta abadi, dengan karunia
pertolongan-Mu kuhaturkan persembahanku di hadapan kebaikanMu yang tak
terhingga, di hadapanMu teramat mulia dan semua santo santa di istana surgawi,
aku berkehendak berhasrat dan bertekat bulat asal menjadi lebih besarnya pujian
dan pengabdian bagiMu, akan meneladan Engkau menanggung segala kelaliman,
segala penghinaan dan segala kemiskinan baik lahir maupun batin, bila keagunganMu
yang Mahakudus berkenan memilih dan menerima diriku untuk hidup sedemikian itu”
2. “Greget-Jw ” atau Semangat “Magis”
Sehubungan dengan semangat magis, ingkar diri
dan rendah hati, sesuai dengan asah asuh asih Yesus, kita mengimani bahwa setiap
keputusan dan langkah dari kehidupan Yesus yang sudah kita kenal lama, namun
tetap kaya ditimba, tak ada hais-habisnya, itu menjadi “disclosure situation”
atau pewahyuan. Kita ambil misal kata ‘magis’ (lebih) yang menunjuk makna
“dinamika menjauhkan setiap sifat setengah-setengah; ingkar diri
sedalam-dalamnya sampai lubuk hati yang diandaikan sebagai syarat untuk dapat
berolaah rasa, cipta dan karsa yang lebih tepat mengena”; itulah panggilan
Tuhan Yesus yang mempersilahkan kita untuk menjadi sahabat-sahabatNya; kehendak
Tuhan agar semua manusia berbudi pakerti mencintai Dia dan mengabdi kepadaNya
dengan mengambil , sebagai pilihan utama, justru hal-hal yang secara lebih
menyeluruh membebaskan kita dari cinta diri ( Pedro Auppe A.R. XV,29).
Kita ingin mewartakan Injil dalam “kerendahan
hati”: Kita , sebagai orang yang terpanggil, sadar bahwa ada banyak karya dan
usaha, besar artinya dan sangat penting dalam Gereja dan di medan dunia, tidak
dapat menjalankannya. Pun pula dalam karya-karya yang dapat dan harus kita
layani, kita sadar bahwa kita harus bekerja sama dengan rekan-rekan lain:
dengan sesama saudara kristen, dengan penganut agama-agama lain, dan akhirnya
dengan semua orang yang berkehendak baik. Kita harus sedia memainkan peranan
kedua, atau sebagai pembantu, bukan sebagai orang tanpa nama; dari mereka yang
ingin kita layani, kita harus bersedia belajar bagaimana cara mereka melayani.
Kesediaan untuk menerima tugas-tugas yang
lebih sederhana, atau sekurang-kurangnya keinginan untuk selalu bersedia untuk
itu, merupakan salah satu ciri khas orang yang bersemangat magis. Juga, bila ia
mempersembahkan diri untuk menjadi unggul dalam pengabdian bagi Raja Abadi;
bila ia mohon diterima di bawah panji-panji salib, bila orang bangga seperti
orang bersemangat magis, karena oleh Bapa ”ia ditempatkan di samping Putra”,
maka ia berbuat demikian itu tidak merasa bangga sebagai yang diistimewakan,
dalam semangat Yesus “Yang menghampakan diri dengan mengambil rupa hamba, taat
sampai mati, bahkan mati disalib ( KJ XXXII d 2.nn29-30 (39-40)
3. Rahmat dan iman dalam berbagai langkah
hidup bersemangat magis[4]
“Magis” itu tidak hanya salah satu ciri ,
tetapi menyangkut keseluruhaan hidup seseorang. Dari waktu ke waktu, keidupan
Yesus merupakan dinamika peziarahan mencari dan menemukan, menjalani arah
kehidupan yang Magis, kemuliaan Allah Bapa yang selalu lebih besar, pelayanan
kepada sesama yang makin purna, usaha-usaha yang makin umum, sarana-sarana
pewartaan Kerajaan Allah yang paling efisien”. Mediocritas (yang setengah-setengah)
tidak nampak dalam laku Yesus.
Seorang pengikut Yesus, yang bersemangat
magis, tidak akan pernah puas dengan status quo, dengan yang sudah diketahui,
dengan yang sudah dicoba, dengan yang sudah ada. Pengikut Yesus terus menerus
dibimbing untuk menemukan, untuk meneruskan kembali apa yang lebih, yang magis
dan untuk meraihnya. Bagi orang yang bersemangat magis , batas-batas bukan
halangan atau titik berhenti; ini adalah tantangan-tantangan baru untuk memulai
lagi; itu adalah kesempatan baru untuk ditanggapi. Memang di situ terkandung
ciri semangat magis pengikut Yesus bertindak, dengan sikap nekat mau menjadi
suci, suatu agresivitas apostolis yang sungguh menukik. Cara pengikut Yesus
bertindak merupakan tantangan. Akan tetapi cara bertindak itu adalah alasan
yang menjadikan setiap pengikut Yesus bertindak dan bertindak terus dalam
keadaan-keadaan yang tidak dilihat sebelumnya, dengan suatu cara yang
diteladankan oleh Ignatius Loyola yang bersemangat magis dalam mengikuti Yesus.
Berlatar belakang pemaknaan di atas, orang
dapat menggerayangi harkat spiritualitas magis dalam kehidupan imam diosesan.
4. Pada dasarnya imam diosesan adalah kekuatan
pokok Gereja Partikular.
Imam diosesan adalah imam yang pertama-tama
menjadi andalan keuskupan. Mereka itulah imam yang mati-hidupnya untuk
keuskupan. Seumpama mereka diutus menjadi misionaris pun ia berada dalam
yurisdiksi keuskupan. Sedangkan para imam ordo/kongregasi dengan status
pontifikal, sebetulnya tenaga kepausan yang terdelegasikan pada tangan pimpinan
ordo/kongregasi. Dan pada kenyataannya ordo/ kongregasi mempunyai cakupan
daerah dan karya tersendiri berdasarkan kharisma dan prioritas-prioritas karya
dan tempat kerasulan ordo/kongregasi dengan suatu keuskupan pertama-tama
mempunyai kesepakatan lebih pada penanganan karya bukan mengenai tenaga. Dengan
demikian uskup tidak mempunyai kekuatan terhadap tenaga milik ordo/kongregasi.
Dalam arti tertentu keberadaan tenaga
ordo/kongregasi di suatu keuskupan boleh dikatakan ‘labil’ karena pimpinan
ordo/kongregasi mempunyai kuasa memindahkan tenaganya kemanapun ordo/kongregasi
memerlukannya. Secara kasarnya, kalau sampai terjadi rebutan tenaga padahal
tenaga adalah dari anggota ordo/kongregasi, uskup berada dalam posisi ‘kalah’
di hadapan provinsial atau jendral. Memang pada praktiknya semuanya dapat
dibicarakan dan tawar menawar. Tetapi tidak jarang terjadi hal yang drastis.
Grafik yang menunjukkan peningkatan jumlah
umat dan tuntutan pelayanan kerasulan teritorial & kategorial, sedangkan
persediaan imam orde/kongregasi berjalan dalam garis datar, merupakan teriakan
kepada Keuskupan untuk mencari jalan, bukan? Bukankah karya penggembalaan
Keuskupan tidak hanya bersifat teritorial, tetapi juga kategorial. Dengan
demikian perlu ditanamkan dalam diri para calon imam dan imam bahwa karya imam
dapat berkarya parokial, tetapi dapat juga kategorial. Kesadaran terhadap
masalah ini hendaknya tertanamkan sejak dini.
5. Cakrawala kiprahnya hidup imam diosesan.
Karena imam diosesan adalah tulang punggung
Keuskupan, maka imam diosesan diandaikan mempunyai kejelian terhadap
masalah-masalah dan tuntutan karya pelayanan pastoral di keuskupannya, baik
yang bersifat teritorial maupun yang kategorial sehubungan dengan visi dan misi
keuskupan yang bersangkutan. Imam diosesan akan merasa tertolong sekali oleh
hadirnya tarekat-tarekat imam religius yang biasanya mempunyai keistimewaan
karya kerasulan kharismatis dan dapat disinergikan dengan bidang-bidang
kerasulan tertentu yang juga diperlukan oleh keuskupan.
Dalam konteks pandangan itu para imam diosesan
dan para calon imam diosesan sungguh-sungguh sejak semula dan seterusnya dalam
program bina lanjut diandaikan mempunyai keterlibatan akan kehidupan keuskupan
mereka dan masyarakat yang bersangkutan dengannya. Mereka diharapkan bersikap
“truthusan ,blusukan” dan “sluman-slumun slamet”. Main “jemput bola” di
keuskupannya untuk mengenal sungguh daerah dan persoalan-persoalan umat
keuskupan dan masyarakat luas di mana keuskupan itu berada. Informasi tentang
keuskupannya selalu harus sampai pada hidup harian mereka. Dalam tahun-tahun
formasinya perlu ada arahan bagi para imam diosesan untuk menggali secara
ilmiah kekayaan dan kemiskinan keuskupannya. Itulah maksud adanya
“peregrinasi-jalan-kaki menjelajahi kawasan keuskupan” sebagai salah satu acara
formasi tahun rohani. Lagi, para seminaris ‘diharuskan’ membuat makalah,
skripsi dan tesis yang bersangkutan dengan masalah yang ada dalam keuskupannya.
Ini semua dimaksudkan agar imam diosesan mempunyai daya kreatif untuk
menghidupkan dan mengembangkan keuskupannya.
Ada apa dengan imam diosesan? Ada keunikan
yaitu bahwa dengan mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, imam diosesan
adalah imam yang jiwa raganya untuk keuskupan, hidup untuk keuskupan, mati
untuk keuskupan. Untuk menghayati panggilan seperti ini dituntut kehidupan
rohani seorang imam yang mengakar , membatang, menyabang, mendaun, berbunga dan
berbuah dalam dan bagi keuskupan..
6. Impian tentang kualitas imam diosesan
Dalam uraian di atas sudah dinampakkan
tuntutan pengembangan jumlah. Di sini akan lebih dilihat pengembangan mutu.
Pengembangan adalah proses terus menerus. Dengan demikian imam selalu harus
mengusahakan dirinya berkembang: (a) Imam yang beriman mendalam (b) berwawasan
luas, (c) berkepribadian utuh, (d) berketrampilan dalam penanganan pastoral.
Dalam istilah keren-nya : bina Spiritual Quotient ‘SpQ’, Intelligence Quotient
‘IQ’, Emotional Quotient ‘EQ’ dan masih Social Quotient, dan Skill Quotient
‘SkQ’
Ad. (a) Iman yang mendalam
Iman yang mendalam diandaikan ada pada orang
yang tekun mengadakan latihan rohani, sehingga jiwa selalu berada dalam
disposisi lepas-bebas tidak tercekam oleh kecenderungan tidak teratur (proses
purgativa), selalu terbuka akan turunnya wahyu (proses illuminativa), mampu
mengatur hidupnya selaras dengan pewahyuan kepada seseorang (proses unitiva).
Latihan rohani mencakup pemeriksaan hati, meditasi, kontemplasi, doa lesan doa
batin, laku pertobatan, matiraga, pembedaan roh dan weweka atau diskresi. Iman
yang mendalam erat hubungannya dengan laku doa terus-menerus.
Ad. (b) Wawasan luas
Wawasan luas diandaikan oleh orang yang
mempunyai banyak pengetahuan. Sehubungan dengan tugas imam, mengajar,
menyucikan dan memimpin umat dalam hidup menggereja, orang perlu belajar cukup
tentang filsafat-teologi dan ilmu-ilmu sekular. Bagaimanapun belajar dan
memperdalam pengetahuan tentang Kitab Suci, Dogma, Moral, Hukum Gereja,
Sakramentologi, Teologi Pastoral dsb. sungguh perlu. Karena ilmu berkembang
dengan adanya penemuan-penemuan pengetahun baru, maka diharapkan imam tetap
mempunyai waktu untuk membaca. Umat kita semakin maju dalam ilmu pengetahuan
dan di paroki-paroki tertentu terdapat banyak awam yang dalam bidang studinya
mencapai tataran tinggi dan puncak keilmuan sebagai master (S2) atau doktor
(S3); sedangkan dalam karirnya berjabatan akademik sebagai profesor. Cukupkah
semua imam kita hanya lulusan S1 dengan IP cukupan saja. Inilah tantangan.
Untuk ini, diperlukan kesiap-siagaan dari rekan yang berbakat tinggi secara
intelektual untuk studi lanjut dan bagi teman-teman lain yang secara
intelektual cukupan ada kesiapan diri untuk belajar sendiri atau menjalani
kursus-kursus yang memadai.
Ad. (c) Berkepribadian utuh.
Inilah sesuatu yang ideal. Seutuh-utuhnya
manusia dalam hal phisik-biologis, psikis, dan spiritual, tetaplah bahwa
manusia mempunyai kelemahan. Namun orang perlu mengingat bahwa ada kelemahan
yang memang membuat orang tidak mampu untuk penanganan karya tertentu. Maka
imam kita meski mempunyai kelemahan, toh diandaikan masih mampu melakukan
penggembalaan umat, badan sehat, pengetahuan cukup, memiliki ‘common sense’,
bersemangat pengabdian, berpenampilan sederhana, ber-‘deduga lan prayoga’,
bukan pemabuk, bukan pemarah, bukan pembenci, bukan pemalas, bukan seks maniak,
tidak mudah tersinggung, bukan pembenci. Rasanya kalau orang dapat memenuhi
tuntutan itu, atau paling tidak mendekati disposisi jiwa seperti terlukis ini,
orang dapat dikatakan berkepribadian utuh.
Ad. (d) Berketrampilan pastoral.
Terampil berarti mampu menggunakan daya
kekuatan yang tersedia untuk mencapai tujuan secara optimal, efisien dan
efektif. Masalahnya ialah bagaimana imam mampu bertindak mempertemukan umat
secara bersama atau secara pribadi dengan sang Pastor Sejati ialah Tuhan Yesus
Kristus. Pelaksanaan beberapa segi pastoral: kerugma, liturgia, koinonia,
diakonia dan martiria. Tersangkut di dalam masalah ketrampilan itu adalah
kemampuan mengamati dan merumuskan masalah-masalah, dengan menggunakan
metode-metode yang tersedia, misalnya dengan metode analisa sosial (ansos),
atau analisa ‘strength, weakness, opportunities and threat (SWOT) berkelanjutan
menentukan prioritas masalah. Dalam tingkat inilah orang perlu menerjuni
situasi kontekstual di mana orang akan berkarya.
Pastinya, tidak boleh ditinggalkan pemahaman
tentang relung-relung kehidupan dalam bidang “ipoleksosbudhankam (ideologi,
politik, ekonomi, sossial, budaya, pertahanan dan keamanan)” masyarakat. Inilah
situasi nyata yang hendaknya menjadi titik berangkat orang berpastoral. Jangan
mengharapkan hasil optimal tanpa orang berangkat dari kenyataan yang ada.
Selanjutnya bagaimana masalah prioritas akan digelar dan digulirkan dalam
kinerja pastoral. Untuk menentukan prioritas itu, diperlukan ketrampilan
managemen pastoral, yang mencakup perencanaan, organisasi, personalia,
administrasi/keuangan, evaluasi dan pengambilan langkah baru yang
transformatif. Para Imam diosesan juga dapat menggunakan analisa 6 M : mission,
men, money, matter, methode, marketing, untuk merenungkan penghayatan
spiritualitas magis dalam hidupnya pribadi, kerohanian, komuniter, eklesial ,
pastoral.
0 komentar:
Posting Komentar