Ads 468x60px

Belajar dari Prof. Hans Kung (2)

@ KOMITMEN ORANG KRISTEN DALAM MASYARAKAT YANG KEHILANGAN ARAH. 


2. Kristen Sebatas Nama dan Kristen Sejati

Di sini, saya ingin sekali berbicara tidak hanya kepada umat Kristen, tetapi juga kepada yang non-Kristen, serta kepada orang-orang yang sedang dalam keraguan. Baik umat Kristen maupun umat non-Kristen mungkin awalnya dapat sepakat dalam tiga masalah penting berikut: 
  • Di dalam krisis nilai dewasa ini, kebanyakan orang yakin bahwa sama sekali tidak mungkin bagi manusia untuk hidup bersama jika tidak ada kesepakatan sedikit pun atas sistem nilai. Dapat dipertanyakan apakah negara pun dapat berfungsi, mengingat semua konflik kepentingan yang ada, jika tidak ada kesepakatan sedikit pun atas norma-norma dan sikap-sikap dasar yang diterima bersama (dan pada saat ini hal-hal tersebut didiskusikan secara serius dalam pelbagai partai politik). Kita dapat mengandaikan bahwa sekurang-kurangnya terdapat kesepakatan mengenai satu hal, yaitu bahwa tidak mungkin ada masyarakat yang berbudaya dan tidak mungkin ada negara jika tidak ada sistem hukum tertentu. Tetapi tidak mungkin ada sistem hukum jika tidak ada rasa keadilan. Dan, tidak mungkin ada rasa keadilan jika tidak ada kesadaran moral atau etis. Dan, tidak mungkin ada kesadaran moral atau etis jika tidak ada norma-norma, sikap-skap, dan nilai-nilai dasar. 
  • Seperti telah saya singgung, memberi pendasaran pada etika murni secara rasional itu amatlah sulit – untuk tidak mengatakan mustahil – oleh karena itu, kita tidak boleh begitu saja mengabaikan fungsi dan pentingnya praktik yang selama ribuan tahun telah memberikan pendasaran untuk suatu etika dan nilai-nilai dasar bagi manusia. Maksudnya, kita tidak dapat menyingkirkan agama tanpa menanggung konsekuensinya. Kita harus menerima bahwa tidak ada kewajiban yang mengikat tanpa syarat untuk melakukan tindakan manusiawi tertentu jika tidak ada penerimaan atas otoritas yang mengikat tanpa syarat yang memberikan kewajiban tersebut kepada kita. Tidak ada tindakan manusiawi yang bermoral yang mengikat tanpa syarat, dan tidak ada etika yang mengikat tanpa syarat tanpa agama. Dan, jika agama sejati tidak menjalankan fungsi tersebut, agama palsu atau quasi agama yang akan menjalankannya. Tetapi bagi agama sejati, satu-satunya otoritas yang dapat mengklaim ketaatan absolut tanpa syarat bukanlah sesuatu yang dikondisikan secara manusiawi seutuhnya. Otoritas tersebut adalah Sang Abolut sendiri, yang kita sebut Allah. 
  • Kristen atau bukan, kita harus mengakui bahwa norma-norma dan nilai-nilai dasar yang bersifat kemanusiaan murni di masa lampau sangat dipengaruhi kekristenan. Dan, hal ini seutuhnya demi kepentingan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Pikiran dan semangat Kristen mengukir nilai-nilai martabat manusia, kemerdekaan, keadilan, solidaritas, dan perdamaian. Tanpa muatan Kristen, nilai-nilai tersebut akan merupakan konsep yang bersifat ekuivok, yang dimanipulasi sekehendaknya, baik di Timur maupun di Barat. (Bukan hanya the People’s Republics and George Orwell’s dalam karyanya 1984 yang membuatnya jelas). Tambahan lagi, suka atau tidak, pesan Kristen tidak hanya memberikan suatu jawaban teoretis dan abstrak terhadap permasalahan-permasalahan mengenai norma dan nilai. Jawaban itu bersifat praktis dan konkret.

Masa depan merupakan milik kaum muda dan merekalah yang secara khusus harus menghadapi permasalahan mendesak ini. Tidakkah kita harus lebih serius lagi menangani masalah sistem nilai yang sudah lazim yang dapat membantu kita menentukan apa yang harus kita lakukan? Saya tidak mengusulkan suatu langkah mundur yang bersifat nostalgia ke masa lampau. Tetapi mungkin kita harus memetakan jalur masa depan kita dengan bantuan dari masa lalu yang masih dapat digunakan. Setelah begitu banyak instrumen lain terbukti hanya memberikan dugaan-dugaan yang tidak dapat diandalkan dalam prahara zaman modern, mungkin bantuan tersebut dapat menunjukkan kepada kita suatu jalan menuju suatu masa depan penuh dengan martabat manusia yang lebih luhur. Di dalam zaman yang miskin akan orientasi ini mungkin orientasi dasar kekristenan sekali lagi - dengan cara yang baru - dapat menjadi petunjuk. Tetapi di sini, kita harus membuat beberapa pemilahan.

 Untuk saat ini, saya sudah dapat mendengar protes dari kaum non-Kristen. Nilai-nilai Kristen yang hakiki? Apa yang masih dapat disebut sebagai kristiani untuk zaman ini? Kristianitas sudah selesai. Tetapi, di sini saya ingin menjelaskan sendiri kepada mereka, kaum non-Kristen dan kaum tidak beriman. Tidak hanya kaum tidak beriman di luar, tetapi juga kaum tidak beriman di dalam, di antara kita sendiri, yang berulang kali menyatakan keraguan dan keberatan, yang mengatakan “saya percaya” tetapi, seperti orang di dalam Injil itu, menambahkan: “Tolonglah saya yang tidak percaya ini!” Kepada orang-orang itu, saya ingin memberikan jawaban yang terus terang dan jujur.

Secara terus terang dan jujur saya katakan jika banyak orang, baik yang mengaku dirinya orang beriman maupun tidak beriman dalam menentukan orientasi dasar hidup mereka menolak banyak hal yang disebut kristen dan jika mereka menolak segala sesuatu yang dalam berbagai bentuk berkaitan dengan ajaran iman yang otoriter tidak masuk akal dan dengan moralitas yang tidak realistis dan picik, maka saya tidak dapat menentang mereka. Jika mereka putus asa dengan legalisme dan oportunisme, keangkuhan dan sikap tidak-toleran dari begitu banyak pejabat Gereja dan teolog dan jika mereka ingin menyerang kesalehan yang tidak mendalam dari mereka yang umumnya dianggap kaum saleh, sifat tanggung dari banyak surat kabar dan majalah Gereja yang membosankan, dan tidak adanya orang kreatif di dalam Gereja, maka saya berada di pihak mereka. Saya pun sama sekali tidak berusaha menutup mata terhadap kegagalan kristianitas dalam sejarah. Sebab saya tidak bermaksud mencuci bersih sejarah kristianitas atau menutupi cacat-celanya: tidak hanya penganiayaan terhadap saudara-saudari kita orang Yahudi, perang salib, pengadilan kaum bidah, pembakaran tukang tenung, dan perang-perang agama tetapi juga pengadilan terhadap Galileo dan begitu banyak pengutukan secara keliru terhadap ide-ide dan orang-orang – para ilmuwan, filsuf, teolog; semua keterlibatan Gereja dalam sistem-sistem tertentu tentang masyarakat, pemerintahan, dan pemikiran, serta semua kegagalan yang begitu banyak di dalam masalah perbudakan, masalah perang, masalah perempuan, masalah kelas, dan masalah ras; keterlibatan yang berlapis-lapis dari banyak Gereja dengan para penguasa pelbagai negara di dalam kelalaian mereka terhadap kaum hina, tertindas, terhimpit, dan terhisap; agama sebagai obat penenang bagi mereka. … Semua ini adalah kritik; kritik yang pedas yang tepat diajukan).

Tetapi saya bertanya kepada Anda: Ini semuakah yang disebut “Kristen”? Kaum beriman dan bukan beriman tentunya akan setuju bahwa ini disebut “Kristen” hanya dalam pengertian tradisional, dangkal, dan tidak tepat. Umat Kristen tentu saja tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap apa yang biasa disebut “Kristen”. Tetapi tidak satu pun dari semuanya itu Kristen dalam arti mendalam, murni, dan asli; tidak ada yang sungguh-sungguh Kristen. Ini tidak berkaitan dengan Kristus yang namanya dirujuk. Dalam banyak cara, hal-hal tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari apa yang menyeret Yesus ke kayu salib. Hal itu sebenarnya merupakan Kristen semu atau anti-Kristen.

Terdapat begitu banyak hal yang disebut Kristen. Tetapi apakah semuanya ini seutuhnya menjadi Kristen hanya karena disebut Kristen? Kita harus menghadapi permasalahan ini. Bahkan orang yang mengaku tergolong dalam suatu Gereja Kristen – seperti saya, dengan penuh keyakinan – tidak ingin mempertahankan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan institusi-institusi yang menyandang nama kristiani adalah sungguh-sungguh Kristen.

Tidak, dengan kehendak paling baik, saya tidak dapat menyebutnya Kristen, atau memiliki nilai-nilai Kristen murni mengingat bahwa dalam Gereja – saya sendiri dalam menanggapi masalah-masalah yang penting bagi jutaan orang Katolik – orang lebih mengacu bukan kepada Yesus Kristus, melainkan hanya kepada otoritas Gereja. Saya harus mengulang: Dengan kehendak paling baik yang yang saya miliki, saya tidak dapat memikirkan bahwa Pribadi yang diacu oleh kristianitas, Yesus dari Nazaret, sekarang akan mengambil sikap yang sama seperti para penguasa di Roma berkaitan dengan masalah-masalah pelik berikut ini: 
  • bahwa Dia, yang memperingatkan kaum Farisi agar tidak menaruh beban yang tak tertanggungkan di atas pundak orang lain, sekarang akan menyatakan semua kontrasepsi “buatan” merupakan dosa besar; 
  • bahwa Dia, yang secara khusus mengundang para pecundang ke meja-Nya, sekarang akan melarang semua orang cerai yang menikah lagi untuk mendekati meja perjamuan itu untuk selamanya; 
  • bahwa Dia, yang selalu disertai kaum perempuan (yang mengurus milik-Nya), dan yang rasul-rasul-Nya, kecuali Paulus, semuanya menikah dan tetap begitu, sekarang akan melarang perkawinan bagi semua laki-laki yang tertahbis, dan tahbisan bagi semua perempuan; 
  • bahwa Dia, yang mengatakan “Aku kasihan melihat orang banyak”, sekarang akan membiarkan umat-Nya semakin kehilangan para gembala dan membiarkan runtuh suatu sistem pemeliharaan pastoral yang dibangun selama lebih dari seribu tahun;
  • bahwa Dia, yang membela si pezinah dan para pendosa, sekarang akan memberikan keputusan yang begitu kasar di dalam masalah-masalah yang pelik yang menuntut pertimbangan yang teliti dan kritis, seperti seks sebelum nikah, homoseksualitas, dan aborsi.


Tidak, saya akan berpendapat bahwa, seandainya Dia datang lagi sekarang, Dia tidak akan setuju: 
  • bahwa perbedaan denominasi harus terus dianggap sebagai halangan bagi perkawinan - bahwa perkawinan seperti ini seharusnya menjadi halangan bagi para teolog awam Katolik yang ingin terlibat di dalam pelayanan pastoral (sebagaimana juga benar bagi kaum Protestan yang akan menjadi pendeta); 
  • bahwa keabsahan tahbisan pendeta Protestan dan perayaan Ekaristi mereka harus tidak diakui; dan bahwa komuni dan Ekaristi bersama, pemakaian bersama gedung-gedung gereja dan pusat paroki dan pelajaran agama secara ekumenis harus dicegah; bahwa perayaan-perayaan ekumenis harus dilarang secara sistematis pada hari-hari Minggu, di dalam suatu zaman yang gerejanya semakin kosong; 
  • bahwa, bukannya terlibat dalam perdebatan terbuka dan rasional, tetapi usaha (perdebatan) tersebut harus dilakukan untuk membungkam para teolog, para pastor universitas, guru agama, jurnalis, pejabat organisasi-organisasi, dan orang-orang yang bertanggung jawab atas karya kaum muda dengan perintah dan “pernyataan” (dan bahkan, bila saja mungkin, dengan hukuman disipliner dan finansial).


Tidak, apabila kita ingin menjadi Kristen, kita tidak dapat menuntut kebebasan dan hak asasi manusia bagi Gereja secara eksternal dan tidak memberikannya secara internal. Kita tidak dapat menggantikan pembaruan-pembaruan yang secara mendesak dibutuhkan di dalam Gereja dengan kata-kata indah mengenai Eropa, Dunia Ketiga, dan konflik Utara-Selatan pada sinode-sinode, pertemuan-pertemuan Gereja, dan perjalanan Paus. Singkatnya, keadilan dan kebebasan tidak dapat dikhotbahkan jika tidak ada pengurbanan bagi Gereja dan para pemimpinnya.

Dengan mudah saya dapat berbicara terus, misalnya, mengenai penggunaan uang publik tanpa kontrol resmi; atau mengenai skandal keuangan di Roma, Chicago, dan tempat-tempat lain. Saya dapat menyinggung nominasi para uskup, yang berlawanan dengan tradisi Katolik kuno, tanpa partisipasi kaum berjubah dan umat, atau para imam dan dewan-dewan keuskupan; atau pelanggaran terus-menerus terhadap batas 75 tahun bagi para uskup, suatu prinsip yang dengan sungguh-sungguh ditetapkan oleh Vatikan II, dan seterusnya.

Saya menyinggung masalah ini semua secara sangat terbuka, bukan karena hal ini menyenangkan saya, tetapi melulu karena merupakan tugas dan tanggung jawab teolog-lah untuk menyampaikan kebenaran, apakah ini berguna atau tidak bahkan seandainya pun membuahkan hukuman.

Tetapi, meskipun saya sadar akan sifat mengerikan dari banyak hal yang disebut Kristen, dan meskipun saya sadar juga akan keberatan-keberatan terutama yang bersifat ilmiah, rasional, atau populer terhadap kristianitas – secara historis, filosofis, psikologis atau sosiologis – tetap saja saya ingin mengatakan ini: bahwa di zaman yang kebingungan ini saya menerima nilai-nilai hakiki saya dari kristianitas meskipun ada banyak hal yang kurang menyenangkan. Bukan dari apa yang disebut Kristen, tetapi dari apa yang benar-benar Kristen: dari pesan Kristen sendiri, dari iman Kristen yang tidak hanya dipercayai tetapi benar-benar dihayati, justru berkat menjadi seorang Kristen. Tetapi di sini muncul suatu pertanyaan yang menjadi tema bagian kita yang berikut.

0 komentar:

Posting Komentar