1. Prolog:
Di Indonesia ini orang “wajib” beragama.
Karena kebanyakan dari kita lahir di lingkungan masyarakat yang demikian maka
masuk akal bahwa iman juga telah menjadi kewajiban. Lebih lagi, Allah atau nama
Allah terlanjur menjadi “buah bibir” atau bahkan “pemanis bibir”. Apa yang
masih tertinggal dari agama yang mengajarkan iman sebagai relasi personal
dengan Allah atau dalam bahasa orang Kristen, Allah yang memberikan Diri
melalui keseluruhan hidup Yesus Kristus? Masih adakah iman di luar kewajiban?
Lebih lanjut, di sini kami bertanya, apakah memang iman berkaitan dengan
kehidupan, atau sekedar polesan atau tempelan yang pada waktunya akan
terkelupas dari wajah asli kehidupan ini? Sungguhkah iman terkait dengan jerih
payah “kanggo urip telung sasi”?
Setelah bertahun-tahun menjadi pastor dan mendampingi pelbagai kelompok yang bereksperimen tentang kemungkinan sebuah iman yang penuh kebebasan dan penuh tanggungjawab manusiawi, dapat saya simpulkan bahwa iman yang dinamis dan hidup dan berunsur harapan bukan sebagai kewajiban dan bukan sebagai “make-up” masih dihidupi dan menghidupi banyak saksi iman yang tidak jarang hidup tersembunyi dalam keseharian. Iman yang demikian itu secara khusus dan istimewa dapat ditemukan (dan dikembangkan) dalam persahabatan dengan “orang biasa” seperti keluarga pak Warno di paroki Wedi atau mbok Ijah di paroki Salam.
2. Sebuah kisah narasi:
Pengalaman beberapa mahasiswa dan mahasiswi
yang mengadakan kegiatan live-in selama 10 hari inilah yang menjadi titik
berangkat refleksi iman yang baiklah kalau kita sebut berteologi dari kehidupan
dan demi kehidupan. Mereka tersebar hampir di seluruh wilayah Keuskupan Agung
Semarang, khususnya di tengah umat paroki-paroki pinggiran. Para mahasiswa
selama live-in ini diminta untuk sungguh mengupayakan persahabatan yang
dikonkritkan dalam keterlibatan kerja untuk menopang hidup seperti yang sudah
dilakukan setiap hari misalnya oleh pak Warno dan mbok Ijah, dan diminta untuk
membuat catatan harian yang akan dicermati dalam langkah refleksi selanjutnya.
Bagaimana ceritanya, baiklah sekarang kita baca tulisan dan cuplikan kisah
berikut ini.
KESETIAAN DAN IMPIAN PAK WARNO
“Saking Pundi asalipun Mas” kata-kata inilah
yang pertama aku dengar dari ibu warno. Rasa cemas dan takut bercampur menjadi
satu. Jangan-jangan keluarga pak Warno hanya bisa berbahasa Jawa, kataku dalam
hati. Tapi syukurlah, itu hanya, sapaan belaka buatku. Meskipun aku sama sekali
tidak mengerti. Toh akhirnya juga keluarga Pak Warno bisa memahami diriku yang
sama sekali tidak bisa berbahasa jawa. Hari-hari selanjutnya, mereka mulai
menyapaku dengan bahasa indonesia. Walaupun mereka tidak selancar aku. Tapi tak
apalah yang penting aku bisa ngerti apa yang mereka katakan. Itu sudah cukup
buatku.
Pak Warno begitulah sapaan para tetangganya.
Setiap harinya ia harus ke sawah atau ladang yang letaknya 2 kilometer dari
rumahnya. Itulah pekerjaannya sehari-hari. Meskipun saat ini menjadi masa-masa
yang sulit di mana air semakin sulit di dapat, Pak Warno tetap melaksanakan
perkerjaannya setiap hari. Aku terkesima dengan sikap Pak Warno yang tidak
mengeluh dan tetap semangat mencangkul sawahnya yang sudah kering kerontang
itu. Aku harus akui kerja di sawah atau ladang memang tidak asing buatku.
Tetapi sehari-hari macul di tanah yang kering, yang tidak bisa menghasilkan
apa-apa merupakan hal yang sama sekali sia-sia bagiku. Apa untungnya!. Tenaga
yang keluar begitu besar, capek, penat hanya ini yang kudapat. Seandainya
pekerjaan ini bisa dijauhkan dari padaku mungkin aku bisa lebih baik, pikirku.
Kata-kata itu tidak bisa menghiburku sama sekali. Malah membuat aku semakin
tidak tenang. “Tanah bisa kering tetapi pikiran dan hati tidak boleh kering”
ungkapnya ketika kami pulang dari sawah. Kata-kata ini menyejuhkan aku dari
rasa capekku.
Dalam hati, diam-diam aku kagum pada Pak Warno
atas sikapnya yang tetap setia melaksanakan pekerjaannya itu. Meskipun umurnya
telah dimakan waktu dan pekerjaan, ia tetap bersemangat. Kesetiaan inilah yang
melatarbelakangi kehidupan Pak Warno sekeluarga. Setia menjalankan tugas-tugas
harian merupakan kegembiran tersendiri bagi Pak Warno. Kesetiaan ini pulalah
yang dihidupi keempat anaknya yang kini sudah hidup mandiri. “Beginilah pola
hidupku setiap hari, setelah sarapan apa adanya, aku berangkat ke sawah untuk melanjutkan
pekerjaan kemarin yang belum selesai dengan harapan tanah ini bisa menghasilkan
sesuatu”. Kata – kata itu rupanya untuk menyakinkan aku. Tetapi rasa capek,
penat yang aku rasakan kemarin kini menjadi rasa bosan, jenuh yang makin
menjadi-jadi. Bagaimana tidak, hari demi hari dengan melakukan pekerjaan yang
sama terus-menerus dan tidak variasi. Menjadi hari-hari yang membosankan
buatku. Rasanya aku ingin pulang. Mungkin itu adalah salah satu jalan
keluarnya. Aku tidak tahu roh apa yang hinggap atas diriku hingga aku berkata
demikian. Setelah kupertimbangkan baik-baik, aku sadar bahwa kenyataan ini
harus kuterima sebagai pelajaran bagiku untuk mencoba setia dalam situasi
sulit, yang tidak ada harapannya sekalipun. Aku tidak ingin meninggalkan tanggungjawab
yang diberikan kepadaku, mesikipun ini sulit. Hari-hari terus berlanjut
pekerjaan itu tetap aku lakukan. Walaupun dalam hati memberontak.
Memang susah menerima sesuatu yang tidak kita
sukai. Apalagi pekerjaan yang tidak membuahkan apa-apa. Seperti biasanya Pak
Warno tetap tenang-tenang saja dengan keadaan yang tidak menguntungkan ini.
Ketenangan Pak Warno membuat aku bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya ada
dalam pikiran Pak Warno sekarang ini. Kesetiaannya, ketabahannya menghadapi
semuanya ini. Ternyata ia mempunyai impian yang tersembunyi dalam sikapnya yang
tenang itu, mugi-mugi ing wegdal ingkang bade dateng siti meniko saged
ngasilaken (moga-moga pada masa yang akan datang tanah ini bisa menghasilkan
sesuatu). Hanya itu yang aku harapkan tidak lebih. Karena hidupku terletak di
sini. Kiranya Pak Warno tidak mau menggantungkan hidupnya pada anak-anaknya
yang sudah mapan. “Selagi aku masih kuat aku akan terus berusaha mencari dan
mencari kehidupan ini” katanya. “Toh Tuhan pasti menolong orang yang mau
berusaha tanpa henti” lanjutnya. Apapun yang aku alami bersama Pak Warno
menjadi pengalaman berharga buatku. Aku semakin berserah kepada Tuhan karena
Dialah sumber hidupku. Masa gelapku telah membawaku ke dalam permenungan. Dalam
permenuganku itu banyak hal yang sebelumnya tak kulihat, tak kutangkap, tak
kupahami menjadi samar-samar dan pelan-pelan menjadi makin jelas. Sejak saat
itu semangatku pun bangkit kembali.
3. Epilog:
Lalu, bagaimana dijelaskan bahwa kisah
pergulatan hidup sehari-hari sebagaimana diusahakan para mahasiswa di atas
merupakan, paling tidak, awal kisah iman yang dinamis, hidup dan berunsur
harapan, bukan sebagai kewajiban dan bukan sebagai “make-up” saja?
Pertama, yang dapat diamati adalah terjalinnya
sebuah persahabatan manusiawi sebagaimana jelas dalam kisah di atas. Iman
memang sangat insani karena mengandaikan tidak hanya rahmat Allah tetapi juga
kebebasan dan kekuatan manusia untuk menanggapi rahmat Allah. Kedalaman
persahabatan baru ini tampak karena mampu menggerakkan para mahasiswa yang
sesudah live-in sering berbicara tentang kenyataan hidup yang penuh kejutan dan
harapan ke depan. Akan tetapi pengalaman hidup bersama “orang kecil” ini juga
membuka pemahaman iman yang hidup dan menghidupkan. Beriman menjadi tidak terpisahkan
dari jerih payah menjalin relasi persahabatan yang tulus dan subur harapan
justru dalam situasi yang tampaknya sulit berharap dan serba terbatas. Kendati
mungkin masih berbentuk benih, di jantung pengalaman ini telah muncul keyakinan
dan harapan akan persaudaraan sehidup-semati, termasuk janji jujur di hati
untuk mengupayakan persaudaraan ini dalam tataran yang lebih luas. Demikianlah
manusia menjadi semakin insani dengan mewujudkan jatidirinya tidak hanya
sebagai makhluk rasional, tetapi relasional atau yang mampu menjalin relasi
persaudaraan dan mampu memberikan diri bagi yang lain.
Kedua, oleh upaya dan pengalaman “berbagi
hidup” yang mengalir dari hati, orang semakin terbuka kepada tantangan iman
Kristiani bahwa Allah kehidupan adalah yang setia mengupayakan agar hidup
berlangsung terus. Para murid Kristus menemukan kejelasan rencana keselamatan
Allah ini dalam keseluruhan hidup Yesus sampai ia disalibkan oleh orang-orang
yang benci kepada kehidupan atau dapat dikatakan juga sebagai yang benci kepada
keadilan dan kebaikan bersama. Namun kesetiaan Allah, Bapa Yesus tidak berhenti
sampai di situ, melainkan membangkitkan Yesus dan membuatnya tampak kepada
banyak murid sampai mereka yakin (beriman) akan kerahiman Allah yang bahkan
lebih luas dari waktu hidup dan sejarah manusia ini.
Iman dan pemahaman demikian itu telah
diwartakan oleh para murid Kristus, laki-laki dan perempuan, sejak generasi
Gereja awal sampai sekarang, khususnya melalui kesaksian hidup mereka yang
tidak jarang harus berakhir pada pencurahan darah (kemartiran) seperti Yesus
sendiri yang dapat disebut sebagai martir yang pertama. Injil mencatat
kesaksian dan pewartaan iman Kristiani dari berbagai sudut pengalaman
menggereja yang konkrit. Para bapa dan ibu Gereja serta banyak teolog besar dan
kecil mengolahnya untuk menggerakkan dan memajukan komunikasi iman dalam
Gereja. Banyak dari mereka masih terus dengan serius dan jujur mencari
pengertian iman yang bermanfaat mengangkat kehidupan, dan bukan menjatuhkannya,
mengingatkan kita kepada solidaritas Allah dan bukan justru memecah-belah
persaudaraan dan membiarkan hati manusia dikuasai ketakutan kepadaNya.
Demikianlah sebuah refleksi iman atau teologi berciri historis karena terbuka
untuk diperkaya oleh penghayatan iman para pendahulu dalam sejarah (tradisi).
Ketiga, refleksi iman atau teologi berciri
kritis karena (1) sanggup dikritik oleh kesadaran orang lain yang bersifat
melengkapi atau pun yang korektif, dan (2) dengan serius berusaha menunjukkan
peluang bagaimana orang dapat beriman dalam konteks hidup sekarang ini, dalam
perjuangan melangsungkan hidup paling tidak “tiga bulan” ke depan, sebagaimana
dikatakan banyak orang sederhana.
Memang untuk saat ini, tidak dituntut
dirumuskannya sebuah tindakan pastoral konkrit seperti sebuah perencanaan
strategis tertentu misalnya untuk memberdayakan kehidupan para petani di daerah
kering atau tang dikepung para tengkulak. Namun demikian, kesadaran baru
diharapkan sudah dilahirkan, bahwa iman adalah tindakan aktif-dinamis bukan
terutama rumusan-mati, dan berdimensi harapan seluas keprihatinan Allah, bukan
hanya sebatas hati dan hidup manusia saja. Ini berarti bahwa iman yang hidup
sungguh melibatkan orang dalam hidup Allah yang solider sekaligus dalam hidup
sesama yang berjerih payah untuk melangsungkan hidupnya hari demi hari.
0 komentar:
Posting Komentar