1. Prolog
Adalah merupakan sebuah keharusan di zaman modern ini, bahwa iman akan Yesus perlu mendapat ruang dialog dengan ilmu-ilmu positif. Sumbangan khas para ilmuwan berdasarkan obyektifitas dan pelbagai data ilmiah, kekokohan analisis, kompetensi terhadap fakta-fakta, kedalaman intuisi, semangat tanpa pamrih dalam mengabdi kebenaran menjadi faktor penting untuk memperkuat, memperkaya sekaligus mengkritisi iman kita. Atau bahasanya Paus (John Paul II on Science and Religion: Reflections on the New View from Rome). “….Ilmu dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan takhayul, agama dapat memurnikan ilmu dari pemujaan dan kemutlakan yang palsu. Keduanya dapat saling menarik satu sama lain kepada suatu dunia yang lebih luas, suatu dunia dimana kedua-duanya dapat berkembang…”.
Dialog antara iman (kristologi) dan ilmu-ilmu sosial (secara khusus, bidang ilmu sejarah) terletak pada usaha untuk merumuskan hubungan antara Yesus yang dibaca secara historis dan Kristus yang dibaca secara teologis. Melalui bantuan ilmu, perangkat iman diharapkan tidak terasing dari pengalaman manusia modern. Iman, dalam hal ini kristologi, haruslah suatu komunikasi yang sedemikian rupa hingga ‘masuk akal’ bagi pendengarnya.
II. Rekonstruksi, sebuah proyek historis
Ilmu sejarah kerap mengklaim bahwa ia mampu menghadirkan kembali suatu peristiwa di masa lampau secara obyektif, persis dan tunggal. Tapi, sebetulnya, studi sejarah bukanlah tindakan mengamati dan menemukan fakta semata, tapi lebih pada tindakan merekonstruksi (Philip Abrahms, Historical Sociology). Proses rekonstruksi adalah sebuah proses ilmiah yang mengikuti pelbagai kaidah keilmuan yang obyektif dan terbuka pada suatu perkembangan. Jelasnya, suatu peristiwa di masa lampau menjadi sejarah ketika sejarawan mencari dan memperlihatkan hubungan sebab akibat antara pelbagai aspeknya.
Wajar, jika kemudian banyak muncul rekonstruksi yang ber-aneka ragam tentang historisitas Yesus. Hal ini tidak berarti bahwa semua orang bisa seenaknya melakukan rekonstruksi. Proses rekonstruksi Yesus tetaplah sebuah proses yang rumit dengan mengikuti pelbagai kaidah keilmuan yang terbuka pada pelbagai informasi.
Di sinilah kita dapat menyitir Carlson dalam “Crossan’s Jesus and Christian Identity”, yang menyatakan bahwa ada banyak jenis rekonstruksi, banyak macam Yesus historis (Historical Jesues). Karena itu, seluruh proyek Yesus historis memang sebuah proyek teoretis, hipotesis dan mengandung banyak probabilitas. Tapi, bukankah probabilitas adalah persis penuntun kehidupan ini?
III. Yesus dalam Aneka Ria Gambaran
Merupakan kenyataan bahwa setiap dari kita mempunyai banyak gambaran terhadap Yesus (Anak Allah, Anak Manusia, Tuhan, Gembala, Rabi, Guru, Tabib, Nabi, Juruselamat, Mesias, Kristus, Raja Damai, Jalan Kebenaran dan Hidup). De facto, gambaran dan gelar itu kerap mengalami divinisasi berlebihan. Padahal Konsili Konstantinopel (381) mengutuk kecenderungan tersebut. Menurut Konsili, inkarnasi terjadi secara penuh dan Yesus adalah manusia sejati dan integral. Khalkedon (451) juga menjelaskan ini dengan sebuah sintesa bahwa Yesus bersatu ada dengan Bapa dan bersatu ada dengan kita (manusia).
Syukurlah, John McIntyre (“The Shape of Christology” 1996) menyatakan bahwa pelbagai penemuan arkeologi penting kini menyediakan banyak informasi baru yang berguna untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa hidup Yesus. Inilah yang disebut dengan metode sosio geografis dalam kristologi. Sekalipun demikian, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa hasil akhir dari pelbagai bukti historis tersebut pada akhirnya tidak lebih dari penggambaran yang bersifat kurang lebih dan tidak langsung (circumstantial).
Beberapa penggambaran dari perspektif lain tentang Yesus historis, misalnya: Wright dalam “Who Was Jesus?” memberi dua contoh:
Pertama, Yesus adalah manusia biasa yang menikah dengan Maria Magdalena, dan mempunyai dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan (Bdk. Film The Last Temptation Of The Christ). Ia lalu bercerai dan kawin lagi. Yesuslah yang membentuk kaum Esseni. Hal ini mengacu pada pendapat Barbara Thiening dalam “Jesus the Man: A New Interpretation from the Dead Sea”
Kedua, Yesus sebagai orang suci dan pemerhati sosial, yang tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah seorang Mesias. Dalam tugasnya, Ia berusaha mengangkat derajat kaum wanita dan orang marginal. Ia memperingati para pemimpin agama akan tingkah laku mereka. Tindakan revolusioner Yesus ini gagal dan ia dihukum salib. Hal ini berdasarkan pendapat A.N. Wilson dalam bukunya, “A Moderately Pale Galilean”.
Sedangkan Prof. Geza Vermes (Direktur forum studi tentang penelitian Qumran di Oxford Centre for Hebrew and Jewish Studies) lewat pendekatan ganda ilmu eksegesis dan sejarah dalam “The Changing Faces of Jesus”, melukiskan Yesus sebagai sosok yang suci, menyerupai para nabi, berkuasa atas perkataan dan tindakan. Yesus mengikuti jejak yang ditinggalkan oleh tokoh-tokoh karismatis Yahudi. Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas Yesus, yakni: hidup selibat, karakter yang keras, tidak kenal takut, tidak ekslusif Yahudi, dan mengajarkan Kerajaan Allah yang hadir secara aktual hic et nunc.
Masalah muncul ketika Vermez tidak menemukan afirmasi apapun terhadap keilahian Yesus. Memang Yesus adalah sosok yang luar biasa dan dalam banyak hal memang sangat mengagumkan. Namun Yesus tetaplah manusia Yahudi, yang paling-paling bisa dijadikan sebagai simbol kehadiran Allah di dunia (Bdk: Roger Haight, “Jesus: A Symbol of God”).
Yang mungkin lebih mengejutkan adalah temuan Prof. John Dominic Crossan dalam “A Revolutionary Biography” tentang peristiwa penyaliban. Berdasarkan kebiasaan penyaliban Romawi, Crossan kuat menduga bahwa mayat Yesus sebenarnya tidak dikubur tapi dibiarkan menjadi mangsa anjing liar dan burung pemakan bangkai. Bahkan dalam The Muslim Jesus, dikatakan bahwa Yesus bisa berbicara dengan sapi, babi dan juga bisa mengembalikan kehalusan wajah perempuan. Pelbagai temuan tersebut membuat banyak orang bertanya dan meragukan niat baik para ahli tersebut.
IV. Yesus Historis, Berkat atau Malapetaka?
Yesus historis, sendiri berarti Dia pernah ada sebagai pribadi yang sungguh terkena situasi manusiawi: lahir, tumbuh-berkembang, bergaul, bekerja-berdoa, sakit dan mati. Dia ada dalam ruang dan waktu tertentu dengan segala kemungkinan dalam konteks jaman dan budaya tertentu (Dunia Yunani-Romawi, Budaya Yahudi, Partai Yudaisme dan jemaat perdana). Selain dari Kitab Suci, kita juga dibantu oleh dogma-dogma, ajaran Gereja dan pelbagai penelitian historis untuk mendapatkan gambaran tentang Yesus. Bahwa Yesus sungguh hidup di tengah orang Israel pada jaman Romawi dan mewartakan Kerajaan Allah (Markus 1:14-15).
John Meier (A Marginal Jew: Rethinking of The Historical Jesus”), menyatakan bahwa pada masa kini, ada beberapa kelompok fundamentalis dan kelompok umat Kristen saleh lainnya (Committed Christians) yang menganggap bahwa usaha rekonstruksi Yesus historis itu sebagai sebuah usaha yang sia-sia, karena terbukti tidak pernah sampai pada penggambaran yang sempurna, dan yang lebih serius lagi karena usaha tersebut sangat mungkin mengancam kebenaran iman Kristen.
Lebih rinci, Crossan (“The Historical Jesus in Earliest Christianity”), mengidentifikasikan adanya beberapa kelompok yang mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan Yesus historis. Misalnya: Komunitas Kristen Thomas, sebagai salah satu kelompok yang mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan Yesus historis tersebut. Bagi mereka, kemanusiaan Yesus tidak terlalu relevan dengan iman mereka akan Yesus yang telah bangkit dan mulia.
Namun menurut Meier, penolakan karena ketakutan ini tidak beralasan. Menurutnya, obyek yang benar dari iman Kristiani bukanlah sebuah ide atau sebuah rekonstruksi saintifik mengenai Yesus historis, tapi sebuah figur pribadi Yesus yang secara penuh masuk ke dalam sebuah eksistensi manusia yang benar di dunia pada abad pertama masehi ini, tetapi yang sekarang hidup, telah bangkit dan dimuliakan selama-lamanya.
Menyitir Meier, usaha pengenalan akan Yesus historis ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bila seseorang hendak berbicara tentang iman yang mencari pengertian (Anselmus dari Cantenbury: fides quaerens intellectum)
Di lain segi, menceruatnya wacana tentang Yesus historis memunculkan masalah yakni, ketika pelbagai rekonstruksi historis dan pendekatan literer di atas membuat goyah iman kita, karena menyibakkan beberapa sisi gelap atau skandal orang Kristen. Maka, seperti judul buku Jacques Dupuis dan Elisabeth A.Johnson cs, kiranya di tengah zaman kontemporer ini, masih tepatlah pertanyaan Yesus kepada para murid bagi kita hic et nunc: “menurut kamu, siapakah Aku ini…?” (Luk 9:20).
Di sinilah, lewat pendekatan ilmu sejarah, terdapat sebuah peluang sekaligus tantangan untuk semakin menanamkan sensus catholicus’, akar iman kita. Beranikah kita bertolak ke tempat yang lebih dalam (Duc in Altum) dalam mengenal dan mengimani Yesus? Mengapa tidak?
Kepustakaan:
1. Abrahms, Philips, Historical Sociology, New York, Cornel University Press, 1982.
2. Carlson, Jeffrey, “Crossan’s Jesus and Christian Identity”, dalam “Jesus and Faith”, Marryknoll: Orbis Books, 1994, hal. 31-43
3. Crossan, John D, Jesus: “A Revolutionary Biography” San Fransisco, HarperCollins, 1994
4. Crossan, John D, 1994a, “The Historical Jesus in Earliest Christianity”, dalam “Jesus and Faith” Marryknoll: Orbis Books, 1994, hal. 1-21.
5. McIntyre, John, “The Shape of Christology” , London: SCM Press, 1996
6. Meier, John, P, “A Marginal Jew: Rethinking of The Historical Jesus”, New York: Doubleday, 1991
7. Vermes, Geza, “The Changing Faces of Jesus”, London: Penguin, 2002
8. Wright, N.T, “Who Was Jesus?”, Michigan, Wm.B.Eerdmans Pub.Co, 1992
0 komentar:
Posting Komentar