Ads 468x60px

Namaku Maria


KATA PENGANTAR BUKU BARU
" Namaku Maria - Susterku Guruku (Kanisius, 2014)
@ Sr Maria Ferdinanda Ngao OSU,
Kepala Sekolah SMA Regina Pacis Ursulin Surakarta).

" Namaku Maria!"
“Hendaklah kita mencari rahmat, dan marilah kita mencarinya melalui MARIA.”

Maria! Ia adalah nama seorang wanita dan pada umumnya banyak wanita ingin tampil cantik, bukan? Tapi, apa itu cantik? Jawabannya kerap sama: Cantik itu dari luar dan dari dalam. Kalau hanya dari luar? Tidak utuh cantiknya. Kalau cuma dari dalam? Kurang juga cantiknya. Pilih yang mana? Kalau boleh sih ... keduanya, cantik luar dan dalam, bukan? Dalam istilah setiap kontes Miss Universe, memiliki “3 B” – “Brain Beauty Behaviour.”

Cantik itu sendiri kerap obyektif kadang juga subyektif. Kalau melihat kerumunan orang banyak atau foto orang banyak, kita bisa menunjuk: Yang ini, dan ini, dan ini cantik. Jadi ada ukuran obyektif. Tapi ada juga ungkapan-ungkapan seperti ini yang menjadikan cantik itu subyektif: “Beauty is in the eyes of the beholder. Kecantikan ada di mata orang yang memandangnya”. We don’t love a woman because she is beautiful; she is beautiful because we love her - Kita tidak mengasihi seorang perempuan karena ia cantik; ia cantik karena kita mencintainya.

Melihat isi buku sederhana tapi kaya makna, yang berupa kepang-keping kisah yang cantik dan menarik, semacam gado-gado perjalanan seorang suster yang guru dan sekaligus seorang guru yang suster bernama lengkap Sr. Maria Ferdinanda Ngao OSU inilah, kita juga diajak menjadi pribadi yang cantik luar dan dalam seperti Bunda Maria yang selalu cantik karena “Mau Rendah hati Ikut Allah”. Yang pasti, bukanlah sebuah kebetulan bahwa kami kadang bekerjasama secara “cantik” di sekolah, tidak hanya urusan “altar” dan “mimbar” (misa dan reksa pastoralia, seperti rekoleksi/retret) tapi juga urusan “pasar”: dari membuat “KOLIK-Koran katoLIK” bernama Stella sampai mengadakan exposure sosial, semacam live-in untuk ratusan anak anak SMA Ursulin di wilayah Sragen dan sekitarnya bertema “PAM”- “Pupuk Air Matahari”.

Dari aneka-ria dan carut marut perjumpaan “MAP” – Mimbar ke Altar sampai Pasar inilah, secara tidak langsung saya semakin mengenal-kental spiritualitas Ursulin yang juga secara cantik dihayati oleh susterku dan guruku ini. Terlebih, menjelang rencana persiapan “Tumbuk Ageng” SMA Ursulin di tahun 2015 dan acara “IUYD” – “International Ursulines Youth Day”, saya mencoba lebih memaknai lambang sekolah Ursulin yang ternyata mengandung “tetralogi iman”, empat nilai keutamaan yang luar biasa cantik luar dalam, dan saya sebut sebagai spiritualitas “SPBU”: Ada “Salib” sebagai lambang pengorbanan. Ada “Perisai” sebagai lambang pertahanan. Ada “Bintang” sebagai lambang perjuangan dan ada juga semangat “Ursulin” bernama “SERVIAM” sebagai lambang pelayanan.

Secara sederhana, spiritualitas “SPBU” ini juga tampak termanifestasikan dalam kepang kepih kisah susterku guruku bernama Maria yang termuat secara eksplisit juga implisit dalam buku cantik ini. Empat pilar dasar itu, yakni:

1.S – Sukacita hidupnya:
“Soli Deo Gloria - Semuanya hanya bagi kemuliaan Tuhan!’ Inilah semangat bunda pendiri yakni St Angela yang selalu diwartakan dalam karya harian susterku guruku ini. Hidupnya selalu penuh dengan nada dasar cinta karena diwarnai dengan mantra “sin se san se mana hase” yang berarti “di SINi SEnang diSANa SEnang di MANA mana HAtiku SEnang.” Ia mudah bersukacita dengan pola “TTS - Tulus Terbuka dan Sederhana” seperti kata-kata terakhir Bernadeth Soubirus di kamarnya sebelum dia meninggal di Paris, tepat pada hari Paskah, 1879, “Voyes comme’est simple, il suffit d’aimer - lihatlah bagaimana sederhananya, semua yang kau lakukan tuk mencintai”. Yah, lewat figur dan tutur sang penulis buku inilah, kita diajak meyakini dan semakin mensyukuri bahwa “jika kita tak punya apa-apa yang kita cintai, maka cintailah apa-apa yang kita punyai, akan setiap pagi yang baru, akan istirahat dan perlindungan tadi malam, akan kesehatan dan makanan, akan kasih dan sahabat-sahabat, akan segala sesuatu yang ada”. Jelasnya, hidup kita sebetulnya merupakan undangan untuk suatu sukacita yang sederhana dan sang penulis telah menunjukkan jalan sederhananya, bukan?

2.P – Pelayanan semangatnya:
Serviam! Inilah sebuah motto khas anak-anak sekolahan Ursulin di bilangan Jakarta sampai Surakarta. Harum namanya, ranum prestasinya. Semangat inilah juga yang tampak kental pada diri sang penulis ketika memberikan hidupnya seutuh dan sepenuhnya sebagai seorang suster dan guru sekaligus guru yang suster, demi pelayanan kepada Tuhan sekaligus kemuliaanNya. Semangat pelayanan ini juga tampak diimplementasikannya dalam beberapa sikap utama yang sederhana, yakni “menghargai” yang diwujudkan dengan memberi pujian dan apresiasi atas hasil pekerjaan orang lain; “mengampuni”, yakni sikap saling membantu dan mencoba memahami kerapuhan insani orang lain serta “mengasihi” yakni semangat memberikan diri ddalam cinta kasih sejati. Bisa jadi figur Bunda Teresa dari Kalkuta sekaligus juga menjadi model bagi hidup pelayanannya untuk selalu menghargai mengampuni dan mengasihi, karena dilihatnya walaupun tua dan keriput, tapi bagi orang-orang miskin India yang mengalami sentuhan kasihnya dialah wanita paling cantik di dunia.

3.B – Bunda Maria teladannya:
Compassionate motherhood! Inilah sebuah teladan yang kerap dikatakan sekaligus di wartakannya secara real dan kontekstual. Hal ini tampak ketika ada pembukaan Bulan Maria sekaligus peluncuran buku “TTM-Tribute To Mary” di Goa Maria Mojosongo Surakarta di 1 Mei 2014. Ia mengajak anak-anak muridnya untuk memotret dan mengumpulkan hasil jepretannya serta memamerkannya di area pelataran Goa Maria dengan tema “compassionate motherhood”. Inilah semangat kehangatan dan kerahiman seorang ibu yang tiada henti. Mengacu pada bingkai biblis, memang ada pelbagai perempuan yang juga ber-“compassionate motherhood”: Anna yang berdoa di kenisah seumur hidupnya (Luk 2:37). Deborah yang menjadi hakim sekaligus imam dan panglima perang (Hakim 4:5). Dorcas, ibu yang bijak dan sigap membantu para rasul (Kisah 9:36). Elisabeth, sepupu Maria yang percaya akan penyelenggaraan ilahi dan orang pertama yang terpesona dengan ‘Salam Maria’ (Luk 1:6,41-45). Ester yang setia pada imannya (Ester. 4:15-17). Hannah, ibu yang tabah dan mendidik anak dengan penuh kasih (1 Sam. 1:9-18,24-28). Janda dari Zarephath, yang menampung Elia selama masa kelaparan (1 Raja 17:8-24). Julia yang berikrar (Roma. 16:15). Lydia, yang mengorbankan seluruh hartanya, demi iman (Kisah 16:14). Maria dan Marta, dua wanita yang dekat dengan Yesus (Luk 21:2-4). Maria Magdalena, wanita pendosa yang bertobat dan menjadi saksi kebangkitan (Mark 14:3-9; Luk 10:42; Yoh 11:5). Phebe, wanita yang membantu Rasul Paulus tanpa pamrih (Roma 16:1,2). Naomi, yang penuh iman dan kasih (Ruth 1; 2; 3:1. Ruth 1:4,14-22). Priscilla, wanita hebat dan rela berkorban (Kisah 18:26). Rachel, isteri Yakub yang cantik, tabah, sabar, lembut dan pekerja keras. Rebecca yang gagah-berani. Shunammite, yang menolong sesama pada waktu kesusahan (2 Raja 4:8-38). Vashti, yang tidak tunduk pada kekerasan (Ester 1:11,12) dan wanita Kanaan, yang tidak menyerah meminta kesembuhan anaknya pada Yesus. Dan, tentulah di balik pelbagai figur tadi, tentulah Bunda Maria yang berkata “Ecce Ancilla Domini-Aku ini HAMBA Tuhan” (Luk 1:38) menjadi teladan hidup doa dan karyanya setiap hari untuk selalu ber- “compassionate motherhood”.

4.U – Utuh kepribadiannya:
Seorang pastor muda, ketika ditanya siapa wanita paling cantik dalam hidupnya, kontan menjawab, “Ibu saya!” Katanya, “Dulu, sebelum saya lahir, ibu saya lebih cantik. Itu yang nampak di foto. Tapi di mata saya kecantikan ibu tidak menjadi pudar, malah ia semakin cantik saja. Ibu tumbuh penuh dan utuh secara rohani. Ia makin sabar, makin pasrah, makin lembut, makin penuh pengertian, makin ramah. Pokoknya makin suci, makin dekat Tuhan. Itu yang membuat seorang wanita makin cantik.”

Dalam buku kepang keeping kisah yang tersusun “cantik” inilah, kita diajak untuk selalu menjaga keseimbangan hidup doa, komunitas, dan karya pelayanan secara utuh dan penuh. Adapun spiritualitas yang coba dihayati susterku guruku ini adalah: dialektis. Di satu pihak, berakar dalam hidup iman dan doa sebagai seorang “suster”, sekaligus pada saat yang sama, dibentuk dan ditempa dalam pelaksanaan pelayanan karya sebagai seorang “guru” yang di tengah konteks zamannya. Adapun buku “cantik” yang ternyata diselesaikannya dalam waktu tidak begitu lama ini ternyata begitu luar biasa menampilkan dimensi integritas-nya. Bisa jadi, itulah juga sebabnya bintang di setiap logo sekolah Ursulin berjumlah tujuh yang merupakan angka/lambang kepenuhan dan keutuhan. Secara jujur, ia mengajak kita menyadari bahwa hidup doa, karya dan membiaranya pastilah tidak lepas dari tawa dan tangis, suka dan duka, jatuh dan bangun, desolasi dan konsolasi, dan bukankah itulah yang membuat semuanya menjadi utuh penuh menyeluruh dan teduh? Semoga Allah yang telah memulai karya baik di antara kita, berkenan menyelesaikannya pula (bdk. Flp. 1:6)

Salam MARIA, Regina Pacis
Hatimu tergerak bila kami dalam derita,
Hatimu gelisah bila kami dalam godaan,
Hatimu menangis bila kami bersalah,
Hatimu cemas bila kami kurang berani,
Hatimu sedih bila kami kurang cinta,
Hatimu iba bila kami tidak bercita-cita,

Salam MARIA, Regina Pacis
Kuatkanlah kami yang lemah imannya,
Kasihanilah kami yang putus asa harapannya
Kobarkanlah kami yang padam kasihnya
Segarkanlah kami yang lapar dan haus,
Sadarkanlah kami bila terlena dalam kesenangan,
Sandarkanlah hati kami bagi penderitaan sesama,

Salam MARIA, Regina Pacis
Suburkan gersang kami di tenang hadirmu,
Sembuhkan luka kami di hangat hatimu,
Kuatkan rapuh kami di rindang doamu, pun
Segarkan letih kami di harum sapamu”.

Medio Juli 2014
Pastoran Cilitan di Timur Jakarta
@Romo Jost Kokoh Prihatanto.

0 komentar:

Posting Komentar