”Aku
ingin bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang mendengar, dan apa yang mereka pikirkan...”
Johann
Baptist Metz, salah satu pencetus konsep teologi politik, memberi-jelaskan
sebuah definisi tersingkat tentang agama. Menurutnya, agama adalah interupsi
(Unterbrechung). Ya, pada dasarnya agama berangkat dari interupsi Allah ke
tengah dunia yang kerap disalah-urus oleh manusia. Agama hadir sebagai suatu
interupsi di tengah dunia yang terpusat hanya pada dirinya. Bukankah
agama-agama mengkhianati panggilannya bila mereka berhenti membuat interupsi?
Bukankah ketika berhenti membuat interupsi, agama-agama tidak lagi menjadi “anjing
yang menyalak” dan “duri yang menusuk”, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur
yang sangat mujarab?
Disinilah,
interupsi seorang agamawan, KH. Mustofa Bisri baik kita ingat, “Rasanya baru kemarin,
padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka..Rasanya baru kemarin...Hari ini
ingin rasanya aku bertanya kepada mereka, bagaimana rasanya merdeka?”
Dalam
intensi hari proklamasi, 69 tahun lahirnya NKRI pada hari ini, saya hendak
mengingat-kenang sepenggal semboyan populer Katolik, “ Pro Patria et Ecclesia”.
Semboyan berbahasa Latin yang berarti, “Demi Tanah Air dan Gereja” ini
merupakan sebuah interupsi yang dipopulerkan Mgr. Soegijapranata (“Bung
Karno-nya Gereja Indonesia”) dengan aksioma khas-nya: “100% Katolik-100%
Indonesia.
Siapa itu
pribadi yang akrab disebut Mgr.Soegija ini? Dalam sebuah wawancara, “Si Burung
Manyar” Mangunwijaya - yang juga banyak membuat interupsi - pernah
menyebut-ungkapkan dalam wawancara dengan Tuti Indra Malaon dan Drigo L. Tobing
dari Majalah MATRA bahwa Soegijapranata adalah gurunya. Ia
mengungkap-singkapkan, “Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh,
nama pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara
lain juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.”
Soegijapranata
sendiri adalah seorang imam Jesuit, yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan.
Beliau diangkat sebagai Uskup Agung Pribumi yang pertama, secara khusus untuk
wilayah Semarang. Situasi negara yang sedang bergolak-gelak saat itu
menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan “altar”, tetapi juga berani
melakukan interupsi bagi kehidupan di “pasar” dengan segala carut-marutnya.
Tahun 1955, Mgr. Soegija pernah mengungkap-kembangkan sebuah interupsi kepada
peserta KUKSI (Kongres Umat Katolik Indonesia): “Apakah kita sungguh mempunyai
manfaat bagi masyarakat Indonesia?” Setelah puluhan tahun berlangsung,
interupsi itu kini diajukan lagi kepada kita semua di tahun ini. Apakah yang
akan menjadi jawabannya? Jelas, merupakan sebuah kepastian bahwa setiap orang
beriman diajak menjadi seorang “gunawan: berguna dan menawan”, yang berani
melakukan interupsi: terlibat-tentunya tanpa terlipat dalam suka duka hidup
bermasyarakat.
Mengapa
Kita Perlu Ber-interupsi?
Mgr.
Soegija mengatakan ada dua prima causa, semacam alasan dasarnya.
Pertama,
kewajiban kerasulan berasal dari keadaan hidup kita: “Sedjak kita ‘dipermandikan’, berkat
kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia,
sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa
terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil
bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita
dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.”
Kedua,
kewajiban kerasulan berasal dari sifat sosial kita:
“Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
“Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita. Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
Mencandra
pelbagai interupsi Mgr Soegija di atas, wajarlah jika seorang Romo Mangun
memandang Mgr. Soegija sebagai seorang Gerejawan besar dalam Gereja dan Bangsa
Indonesia: “Saya tidak dapat menggambarkan bagaimana akan jadinya Gereja
Katolik Indonesia seandainya dulu Mgr. Soegijapranata tidak ada.”
Bagaimana
Kita Melakukan Interupsi?
John Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan mengenai Allah di kedua belahan bumi: Di Utara (Eropa dan Amerika Serikat/Utara), orang bertanya, “Apakah Allah ada” - Di Selatan, orang bertanya, “Dimana Allah”. Ini adalah pertanyaan tentang keberpihakan. Jelas, bahwa dalam konteks Indonesia, setiap agama diajak tidak meninggalkan manusia di pinggir jalan tapi setia melakukan interupsi: menghadirkan Allah, terlebih bagi setiap “korban – rakyat tersalib”. Tapi, pada kenyataannya? EGP (Emang Gue Pikirin), SWGTL (So What Githu Loch), HIV (Hemang Ike Vikirin) lebih terasa bukan?
John Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan mengenai Allah di kedua belahan bumi: Di Utara (Eropa dan Amerika Serikat/Utara), orang bertanya, “Apakah Allah ada” - Di Selatan, orang bertanya, “Dimana Allah”. Ini adalah pertanyaan tentang keberpihakan. Jelas, bahwa dalam konteks Indonesia, setiap agama diajak tidak meninggalkan manusia di pinggir jalan tapi setia melakukan interupsi: menghadirkan Allah, terlebih bagi setiap “korban – rakyat tersalib”. Tapi, pada kenyataannya? EGP (Emang Gue Pikirin), SWGTL (So What Githu Loch), HIV (Hemang Ike Vikirin) lebih terasa bukan?
Nah,
disinilah interupsi Mgr. Soegija mendapatkan konteksnya: Orang-orang yang
sungguh-sungguh beragama memang bukan bagian yang lebih besar (pars major),
tetapi harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior). Dkl:
Menghadirkan agama sebagai sebuah “rumah”, yang mau terlibat dalam gulat-geliat
masyarakat sudah merupakan satu bentuk interupsi. Kiranya lewat momentum
tujuh-belasan ini, semua agama yang hadir daan mekar di persada Indonesia ini,
juga berani menghidupi imannya sebagai sebuah interupsi. Akhirnya, ingatlah
sebuah interupsi mini Mgr Soegija, yang diambilnya dari Rupertus Meldenius dan
Augustinus dari Hippo, “In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus
caritas: Dalam kegentingan - bersatu, dalam keraguan - merdeka, dalam segala
hal – cinta.
MERDEKA!!
Salam HIK-ers
@Jost Kokoh Prihatanto, Pr
Salam HIK-ers
@Jost Kokoh Prihatanto, Pr
0 komentar:
Posting Komentar