(BAGIAN I)
Salah satu kesulitan
mengerti perumpamaan ini adalah bagaimana mungkin bendahara yang
"licik" ini bisa menjadi teladan bagi kita sebagai anak-anak Tuhan? Apakah
kita harus "pintar" mencari muka untuk mendapatkan hati sesama dengan
cara merugikan yang lain, seperti yang dilakukan oleh bendahara tersebut
terhadap majikannya?
Ada hal yang menarik
untuk kita simak. Majikan si bendahara tidak memujinya oleh karena
ketidakjujurannya, melainkan oleh karena kecerdikannya (ayat 8a). Bendahara
ini cerdik karena ia membuat orang menjadi berterimakasih kepada dirinya dengan
cara memberikan pengurangan utang kepada orang itu (ayat 5-7).
Yesus sendiri
berkomentar bahwa anak-anak dunia ini lebih cerdik daripada anak-anak terang
(ayat8b), oleh karena itu Ia menasehati para murid-Nya agar dengan cerdik
memanfaatkan kekayaan dunia yang dimilikinya untuk mengikat persahabatan di
dalam dunia ini (ayat 9). Lepas dari dunia ini, kekayaan tidak dapat
dimanfaatkan lagi.
Apakah orang kristiani
dianjurkan untuk bersikap licik, memanfaatkan harta dunia agar diterima oleh
dunia? Tentu saja tidak! Kita memiliki motivasi kasih untuk menjadi berkat bagi
dunia yang membutuhkan keselamatan. Kita justru akan diterima oleh dunia ini
bila kasih kita mewujud tidak hanya dalam panggilan pertobatan tetapi kepada
kepedulian sosial di tengah dunia.
Jadi kita dipanggil
untuk cerdik menggunakan harta dunia 'di dalam ketulusan kasih' dengan
menggunakan semua sarana dunia karna kita bukanlah milik dunia walaupun kita
ada di tengah dunia. Demikianlah anak-anak Tuhan harus "cerdik",
cerdas dan terdidik di dunia ini untuk memenangkan dunia bagi Tuhan.
Sudahkah kita
menggunakan harta-talenta kita dalam hikmat Allah sebaik-baiknya dengan
cara-cara yang khas manusiawi, demi "mengangkat manusia dan memuliakan
Allah"?
(BAGIAN II).
Bicara lebih lanjut
seputar perumpamaan bendahara yang tidak jujur, adapun cara yang dipakai oleh
sang bendahara dalam perumpamaan ini bukanlah cara yang benar. Namun demikian
kita bisa meneladan kejelian dan kecerdikannya dalam merencanakan masa depan. Ia
menyadari bahwa dia akan segera meninggalkan jabatannya dan tentunya akan
kehilangan otoritas di dalam mengelola harta tuannya. Karena itu ia menggunakan
kesempatan yang masih ada, untuk menjalin persahabatan dengan menggunakan harta
tuan-nya. Tujuannya jelas, supaya ia nantinya mendapat balasan dengan diberi
tumpangan.
Apa yang diutarakan
dalam perumpamaan ini menggambarkan posisi kita sebagai orang kristiani dalam
hubungannya dengan harta. Tak satu pun harta yang ada pada kita dalam hidup ini
adalah milik kita. Kita hanyalah dipercayai untuk mengelolanya. Suatu saat kita
akan meninggalkan semuanya. Karena itu, ketika kita masih mempunyai wewenang
atas mamon yang tidak jujur, kita harus menggunakannya untuk membangun
persahabatan yang bernilai kekal. Karena itulah penggunaan uang bagi orang kristiani
bukanlah hal yang sepele.
Meskipun bila dibandingkan dengan kekayaan sorgawi, nilainya sangat kecil, namun cara kita menggunakan yang sangat kecil ini dapat menunjukkan apakah kita orang yang "setia" atau tidak (ayat 10-12, "SETIA-SElalu Taat dan Ingat Allah").
Meskipun bila dibandingkan dengan kekayaan sorgawi, nilainya sangat kecil, namun cara kita menggunakan yang sangat kecil ini dapat menunjukkan apakah kita orang yang "setia" atau tidak (ayat 10-12, "SETIA-SElalu Taat dan Ingat Allah").
Apakah kita adalah hamba
yang setia dan layak dipercaya untuk mengelola harta titipan Tuhan? Dalam hal
penggunaan harta itu, apakah kita menggunakannya untuk melayani Allah ataukah
harta itu akan mempergunakan kita untuk melayaninya? Janganlah kita seperti
orang-orang Farisi yang menjadi hamba uang!
Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui.
Fiat Lux!@RmJostKokoh.
Tuhan memberkati & Bunda merestui.
Fiat Lux!@RmJostKokoh.
0 komentar:
Posting Komentar