PADA MULANYA ADALAH SENI (n)
Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan….
Ya, pada mulanya adalah hari Senin malam, 29 Oktober 2012, kami
berkumpul bersama di ruang tengah pastoran St Maria Fatima Sragen dengan
segelintir orang, bersama-sama mencoba urun-rembug mengumpul-tampilkan
ide spontan tentang sebuah acara kultural pada awal bulan di akhir tahun
2012 ini. Selain berada dalam bingkai besar Tahun Iman dan HUT Gereja
St Maria Fatima Sragen yang ke-55, adapun urun-rembug ini bisa jadi
berangkat dari pertanyaan: Jika karya seni budaya, yang dianggap sebagai
ekpresi dari persepsi imanik serta impresi estetik, bertugas
menjelaskan apa yang ada dalam diri manusia dan alam secara universal di
sepanjang waktu dan di semua tempat (pandangan Aristoteles), merupakan
cermin realitas sekaligus rekaman cita masyarakat (pandangan William
Philip), dan juga merupakan sarana manusia untuk kesadaran diri
(pandangan Marxian), mengapa dunia seni budaya tetap saja merupakan
dunia yang terpencil dan diabaikan? Mengapa ia seakan-akan nampak
sebagai dunia yang tidak berhubungan dengan orang banyak? Mengapa ia
seolah-olah nampak sebagai makhluk yang
“la yamutu wa la yahya” (tidak mati tetapi tidak nampak sebagai makhluk yang “
giras“)?
[1]
Seiring waktu dan sejumput pertanyaan di hari Senin malam itu,
tertulislah beberapa usulan tema yang coba kami lempar-gempar di forum:
“SIM-Sragen In Motion, SAF-Sragen Art Festival, GBS-Gelar Budaya Sragen,
PBS-Pekan Budaya Sragen, MAF-Marfati Art Festival, FSS-Festival Seni
Sragen”, dan satu usulan dari orang muda, “Start-Sragen fesTival ART.”
Dari ketujuh usulan tema itu, terlontarlah sebuah masukan supaya tidak
disalah artikan pihak lain, alangkah lebih baik jika tidak
mengatas-namakan wilayah Sragen.
Eureka!!!……di hari Senin malam itulah, tiba-tiba kami teringat-kenang
sebuah ungkapan latin, “Ars longa vita brevis,” yang kalau diartikan
secara harafiah, “Hidup manusia begitu singkat, namun karya seni yang
dihasilkannya akan abadi.” Dalam bahasa Sragenan: “
–SENI TAN WINATES, GESANG MENIKA RINGKES”. Itulah
tema umum Gelar Budaya yang akhirnya disepakati forum urun-rembug pada
sebuah malam di hari Senin, penghujung bulan Oktober kemarin.
[2]
Satu hal yang pasti: bukankah hidup keseharian dan hidup beriman juga
mesti dihadapi dengan common sense, dan wujud seni (lukis, tari, teater,
cerpen, film dsbnya) adalah refleksi kehidupan dan keberimanan dengan
akal sehat dalam pelbagai kewajaran dan sikap yang rileks?
Ungkapan atau semacam aforisma “Ars longa vita brevis” yang menjadi tema Gelar Budaya ini sendiri ditulis oleh
Hippocrates,
seorang dokter Yunani kuno yang hidup di sekitar abad ke 5 SM.
Hippocrates sering dianggap sebagai Bapak Kedokteran karena aneka
pemikirannya mengenai kedokteran yang cukup maju untuk jamannya: Ia
menganggap bahwa penyakit disebabkan oleh gabungan berbagai faktor
seperti lingkungan, makanan, dan gaya hidup yang buruk dan bukan karena
hukuman tuhan atau dewa-dewa; Ia juga meyakini proses penyembuhan
alamiah seperti istirahat yang baik, makan yang sehat, udara segar, dan
kebersihan; Ia juga mengamati bahwa derajat parahnya suatu penyakit
berbeda-beda dari orang ke orang dan seseorang dapat menghadapinya lebih
baik dari yang lain.
Sebenarnya, “Ars longa vita brevis” yang adalah pembuka dari buku
kompilasi ungkapan Hippocrates, kalau dilihat lebih mendalam, tidak ada
hubungan kait-pautnya dengan keabadian karya seni dan umur manusia.
Aforisme “Ars longa vita brevis” lebih dimaksudkannya dalam konteks
bahwa luasnya ilmu pengetahuan (yakni:teknik kedokteran) tak cukup
dibandingkan dengan umur manusia yang terlalu pendek untuk menguasainya
(“Ars” yang berarti seni, sebenarnya
merupakan terjemahan dari bahasa Yunani,
yakni: τέχνη (techne) yang berarti “teknik” atau “kriya,” dan bukan
“seni” yang mengacu pada seni murni. Bila kita membaca aforisme ini
secara lebih lengkap, makna yang ingin disampaikan Hippocrates akan
lebih jelas:
Ars longa,
vita brevis,
occasio praeceps,
experimentum periculosum,
iudicium difficile.
Teknik luas,
Hidup singkat,
Kesempatan pendek,
Pengalaman penuh bahaya,
Penilaian sulit.
Dalam empat baris dan 10 kata ini, Hippocrates ingin mengatakan bahwa
“Umur manusia sangat pendek namun teknik [kedokteran] begitu luas;
waktu yang tersedia demikian singkat dan banyak rintangan untuk
memperoleh pengalaman; sulit untuk memperoleh penilaian yang objektif di
atas prasangka.”
Lepas dari penjabaran aforisme “Ars longa vita brevis” di atas, satu hal yang perlu diperHATIkan bahwasannya, tidak seperti
motto sebuah perusahaan
film Metro Goldwin Mayer, Ars gratia artis –
Seni untuk seni”,
Gelar Budaya dalam rangka Tahun Iman dan HUT Gereja St Maria Fatima
Sragen, yang berlangsung selama sepekan di pelataran Gereja dan
sekolahan ini juga hadir untuk melibat-kembangkan semakin banyak potensi
budaya lokal sekaligus mengajak umat beriman semakin berbudi-daya
(berbudi sekaligus berbudaya) dalam membangun dinamika dan semangat iman
umat, serta secara khusus dalam membangun-kembangkan Taman Doa dan Goa
Maria Ngrawoh. Tak lupa, terimaKASIH juga pada para panitia urun-rembug,
rekan penampil dan pekerja seni serta para undangan dan pastinya semua
umat beriman di Paroki St Maria Fatima Sragen.
Tuhan memberkati dan Bunda merestui. Fiat Lux! Jadilah Terang (Kejadian 1:3)
Sragen, 10 Nov 2012
Salam interupsi
Rm.Jost Kokoh Prihatanto Pr
[1]
Keadaan seperti ini, mengutip Goenawan Muhammad dalam esei “Dengan
Minoritas Yang Tak Tepermanai” , nampaknya tidak hanya berlaku bagi
dunia sastra, tetapi juga terjadi pada dunia seni rupa, seni
pertunjukan, seni lukis, musik dan dunia seni lainnya. Dalam esei
tersebut Goenawan Muhammad, dengan sedikit menghibur, mengatakan bahwa:
jumlah bukanlah perkara penting. Ia mengambil contoh Juan Ramon Jimenez
yang mempersembahkan sebuah kumpulan puisinya bagi “minoritas yang tak
tepermanai”.
[2] Apa itu budaya? Dari kata Latin
cultura,
kultur atau budaya yang awal mulanya menunjuk pada pengolahan tanah,
perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak, dalam perjalanan waktu
istilah ini berevolusi menjadi aneka macam gagasan yang berporos pada
hal-ihwal keunikan adat kebiasaan, cara hidup suatu masyarakat. Menurut
Raymond Williams, ada tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu: 1)
Yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari
seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat. 2) Yang mencoba
memetakan khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus
produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni, teater). Dalam
penggunaan ini, budaya kerap diidentikkan dengan istilah “Kesenian” (
the Arts)
dan 3) Untuk menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan,
keyakinan-keyakinan, dan adat-kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau
masyarakat. Fredric Jameson dalam
Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991),
melihat budaya sebagai ranah yang mulai kehilangan otonominya karena
dihancurkan oleh logika kapitalisme fase akhir. Budaya tidak dengan
sendirinya menghilang saat otonominya digugat atau diintervensi
daya-daya kapitalis. Sebaliknya, ia malah meledak. Maksudnya, budaya
menyebar dan merambah alam sosial, sampai pada titik di mana segala
sesuatu dalam hidup sosial kita – dari nilai ekonomi dan kekuasaan
negara sampai pada praktek dan struktur paling dasar dari kejiwaan itu
sendiri- bisa dikatakan telah dibaptis dalam nama ‘budaya’.
Ubi fumus, ibi ignis.
Di mana ada asap, di sana ada api.
Ubi mel ibi apes.
Di mana ada madu, di sana ada lebah.
Ubi bene, ibi patria.
Di mana seseorang merasa betah, di sana tanah airnya.
Ubi concordia, ibi victoria.
Di mana ada keselarasan, di sana ada kemenangan.
Ubi dubium, ibi libertas.
Di mana ada keraguan, di sana ada kebebasan